Scroll untuk baca artikel
Fokus

[FOKUS] Banjir, Tuhan, Kapitalis, dan Perlawanan Nuh As

Redaksi
×

[FOKUS] Banjir, Tuhan, Kapitalis, dan Perlawanan Nuh As

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Di musim hujan, peristiwa banjir menjadi pandangan setiap hari. Baik di media elektronik maupun cetak pemberitaan banjir selalu mewarnai. Jalanan dipenuhi air, jalan-jalan pada rusak, dan berlubang.

Banjir menjadi langganan dan bahkan di ibu kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan menjadi berita yang patut disiarkan secara langsung. Belum lagi daerah lain yang diterjang banjir, tanah longsor, jempatan gantung terputus dan harus rela tinggal ditempat pengungsian serta nyawa jadi taruhan.

Saya masih beruntung karena selama ini tempat yang menjadi rumah tinggal di kampung belum mengalami kebanjiran. Entah tahun-tahun depan seiring maraknya pembangunan perumahan dan aliran air yang tidak tahu di mana ia akan bermuara.

Pertanyaan aneh muncul di media, “Banjir disebakan oleh Tuhan dan curah hujan yang tinggi?” Hal ini mengingatkan pada kisah Banjir dan Perahu Nabi Nuh As.

Seorang filosof eksistensilis J.P Sartre (1905-1980) pernah berkata, “Tuhan bukan tidak hidup lagi atau tidak ada, Tuhan ada tapi tidak bersama manusia.”

Namun pernyataan Sartre ini menuai kritik dari Teolog Yahudi yakni Martin Buber (1878-1965) yang mengatakan, “Tuhan tidak diam tapi di zaman ini manusia memang jarang mendengar. Manusia terlalu banyak bicara dan sangat sedikit merasa.”

Apakah Tuhan patut disalahkan oleh sebab banjir dan beberapa bencana yang terjadi sekarang ini ataukah seperti kata Martin Buber bahwa kita terlalu banyak bicara dan sangat sedikit mendengar. Sehingga Tuhan tidak bersama manusia, sesuai kata J.P Sartre. Ah … dasar manusia, tidak tahu siapa dirinya.

Seharusnya kita sadar diri bahwa kita sebagai manusia merupakan mahluk mutidimensi dalam pendekatan ekologis. Hakikatnya manusa merupakan makhluk lingkungan. Dalam artian bahwa dalam melaksanakan perannya sebagai khalifah di muka bumi manusia memiliki kecenderungan untuk selalu mengerti akan lingkungannya.

Agama Islam mengajarkan bentuk ideal manusia dan peran lingkungan. Secara ideologis masyarakat muslim pandai dalam merekayasa lingkungan namun secara faktual berperilaku ekologis masih sangat rendah. Sebab memperlakukan lingkungan sebagai aset potensial, alam lingkungan menjadi lahan eksploitasi dan kepemilikan para kapitalis.

Singkatnya kita belum memiliki rancangan ekologis yang representatif yang bermuatan spiritualitas lingkungan. Meski tuntutan berperikehidupan berwawasan lingkungan ataupun kesadaran lingkungan dalam kampanye sangat kuat.

Maka krisis lingkungan hidup dan kemanusiaan harus menjadi pusat perhatian bagi setiap tradisi dan komunitas keagamaan, sekaligus fokus dalam upaya memahami hakekat spiritualitas lingkungan dan kedirian kita yang memiliki peran untuk memakmuran bumi.

Nabi Nuh As dan Kaum Kapitalis

Masihkah kita mengingat kisah Nabi Nuh As, tak pantas kiranya kita mensalahkan Tuhan dan curah hujan tapi diri kitalah yang bersalah. Allah sebagai Tuhan yang menjadi sutradara memerintahkan kita untuk mematuhi segala apa yang diperintahkan serta menjauhi segala yang dilarang.

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’araaf/7: 96)

Al Qur’an juga menerangkan untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi ini seperti dalam surat al A’raaf yakni:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S. Al A’raaf/7 : 56).