Scroll untuk baca artikel
Blog

Banteng Loreng Binoncengan

Redaksi
×

Banteng Loreng Binoncengan

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Adalah seorang anak gembala dengan seruling bambunya. Satu hari saat berkebun, muncullah seekor banteng di tepian hutan. Seekor banteng besar jantan berkulit loreng, dan tampak ganas. Si anak pun meniup serulingnya, bersama tiupan angin sepoi. Si banteng tampak memandang nyalang si anak gembala yang berdiri di hadapannya.

Si banteng yang mendengus dan mengeker satu kakinya tampak terdiam, kemudian perlahan menghampiri si anak dengan tenang dan tertunduk. Melihat itu si anak pun mengelus-elus leher si banteng, kemudian naik ke punggung banteng sembari kembali meniup serulingnya. Banteng loreng itu tampak terbuai oleh alunan lembut buluh perindu.

Sampai di sini legenda pantai utara itu menjadi simbol Kota Tegal. Melambangkan sifat masyarakat Pantura yang keras, kasar, dan bisa menjelma seekor banteng ketaton, tapi akan luluh hatinya oleh tiupan lembut seruling anak gembala berhati jujur polos. Legenda tutur nenek moyang itu cukup dikenal oleh masyarakat pantura, khususnya Pemalang, Tegal, Brebes.

Tidak ada peninggalan artefak simbol ini. Tapi di 1965-an di Tegal terbit koran delapan halaman, dengan pimpinan redaksi budayawan Tegal Wuryanto. Nama koran yang berafiliasi pada Partai Nasional Indonesia (PNI) itu bernama: Banteng Loreng. Beritanya yang menasional ialah saat memuat penangkapan tokoh G-30-S Oentoeng di daerah Tegal.

Dalam lukisan saya berjudul sama, kisah Banteng Loreng Binoncengan berlanjut. Si banteng membawa si anak gembala masuk hutan, tempat penguasa rimba raya, seorang raksasa yang bagai sebesar gunung. Si raksasa ini bersenjata gada emas, dan penjajah segenap satwa rimba. Ya, si banteng mau menghadapkan si anak gembala dengan si raksasa.

Tindakan si banteng ternyata tepat, seperti dirinya, si raksasa pun luluh tunduk oleh tiupan lembut seruling gembala. Tidak itu saja, si raksasa bahkan menghadiahkan gada emasnya kepada si anak gembala.

Kisah lanjut yang saya lukiskan ini untuk menegasi, bahwa kelembutan hati akan membuahkan sukses bagi seseorang berhati lembut. Bahkan kekerasan sebuah kota dunia pun bisa ditaklukkan oleh kelembutan, bahkan akan menangguk sukses bagi si lembut hati.

Para pendahulu kita banyak mengenalkan legenda. Termasuk interpretasi atau imajinasi lanjut atas legenda para tokoh itu, menjadi inspirasi bagi karya-karya seninya. Kita ingat lukisan Joko Tarub atau Nyai Lara Kidul dari pelukis Basoeki Abdoelah.

Legenda berisi semangat atau spirit jiwa hidup di tiap kota pun menjadi simbol atau lambang kota-kota itu. Tetapi orde baru telah mengubah lambang-lambang melegenda sosial-budaya itu, menjadi simbol-simbol yang lebih bervisi ekonomi-kapitalis.

Tak lain karena berubahnya politik kebudayaan menjadi politik ekonomi yang ujungnya ekonomi kapitalis liberalis. Dan itu berlanjut hingga era reformasi sekarang ini.