Scroll untuk baca artikel
Blog

Bayang-Bayang Gelombang Ketiga Setelah Pembatalan PPKM Level 3 Selama Nataru

Redaksi
×

Bayang-Bayang Gelombang Ketiga Setelah Pembatalan PPKM Level 3 Selama Nataru

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Pemerintah telah membatalkan PPKM level 3 selama libur Natal dan Tahun Baru 2021. Pembatalan ini ditenggarai karena vaksinasi secara nasional telah mencapai angka 76% untuk dosis pertama. Namun begitu, muncul kekhawatiran dari epidemiolog akan adanya ancaman gelombang ketiga. Terlebih setelah varian baru Omicron telah masuk di negara tetangga, seperti Singapura dan Australia.

Salah satu epidemiolog yang menyayangkan pembatalan PPKM ini dari Universitas Sumatera Utara, dr Putri C Eyanoer. Mengutip RRI, Putri menyebut menurutnya angka kasus Covid-19 di tanah air seiring dengan menurunnya positive rate.

Selain itu, Putri menyatakan pemerintah juga terlihat mengendorkan program 3T (Testing, Tracing, dan Treatment) sebagai langkah melacak penyebaran virus. Putri menambahkan dia meragukan pencatatan kasus yang dilakukan oleh pemerintah karena 3T tidak dilaksanakan dengan baik.

Hal ini menjadi indikasi pakar tidak berdaya sama seperti yang ditulis oleh Tom Nichols dalam buku berjudul The Death of Expertise. Tom menulis bahwasanya pakar hanya bisa mengusulkan, namun pemimpin terpilih yang menentukan. Bahkan, pakar dan pemimpin sering tidak berada dalam suara yang sama.

Tidak semua politisi dan pengambil keputusan dapat memahami berbagai isu sehingga pakar diperlukan untuk memberikan saran. Sayangnya, tak berarti saran itu akan dilakukan.

Hingga saat ini, belum ada yang pasti soal varian Omicron. Apakah itu lebih cepat menyebar daripada varian Delta. Para peneliti di seluruh dunia masih membutuhkan waktu untuk memeriksanya. Namun, dengan adanya keputusan pembatalan PPKM ini terkesan terburu-buru. Di saat belum ada kepastian dan vaksin juga belum dapat dipastikan efektif melawannya.

Kala para ilmuwan melakukan pengamatan dan pengujian, pengulangan dan penemuan pengetahuan baru, pembuat kebijakan seharusnya dapat bertindak dan lebih mendengarkan para ahli yang berpangalaman.

Terlebih, belajar dari pengalaman sebelumnya, saat gelombang kedua terjadi, salahsatunya karena masyarakat kurang disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan. Jika melihat akhir-akhir ini, kepadatan terlihat di beberapa titik wilayah di Indonesia. Ini menunjukkan kurangnya pengawasan dan pengetatan.

Memang, jika melihat data, kasus harian di tanah air berkurang. Namun bukan berarti Indonesia telah memasuki zona aman.

Memahami krisis Covid-19 menjadi bagian krisis sosial juga harus menyertakan para ahli dari daerah yang tahu betul keadaan di wilayah di luar kota-kota besar.

Kini, pengambil kebijakan perlu menentukan sikap jika benar-benar ingin melindungi rakyatnya. Merespon berbagai kemungkinan yang bisa terjadi saat libur Nataru dan juga mendengarkan saran para ahli termasuk dengan meningkatkan kembali 3T.

Tidak ada yang ingin mengulang kegagalan dengan gelombang ketiga. Namun, berkaca dari negara kaya seperti Inggris pun pemimpinnya anti sains. Pada bulan Juli lalu, lebih dari 100 ilmuwan dan dokter menanadatangani surat yang menuduh pemerintah Inggris melakukan eksperimen berbahaya dan tidak etis karena membatalkan pembatasan.

Menyusul dengan pembatalan pembatasan, jumlah kasus di Inggris meledak. Padahal saat itu, tingkat vaksinasi di Inggris untuk dosis satu mencapai 73,8% dan 67,5% untuk dosis kedua. Artinya tidak ada jaminan bagi Indonesia untuk bisa terbebas dari gelombang ketiga.

Saat ini, masih ada waktu bagi pemerintah untuk kembali membuat aturan PPKM level ketiga sebelum Nataru tiba dan tidak ada jaminan saat itu jumlah kasus tidak meningkat. [rif]