***
Sudah hampir setahun, mas Bambang yang brewok bertubuh besar dengan kaos oblong “Harley-Davidson” lusuh menaruh ingkung di Jembatan. Tapi rejekinya masih saja seret. Rumahnya yang di Jl. Sorosutan sudah disita bank. Begitu juga dengan cucian mobil yang menempati pekarangan rumah warisan orang tuanya di Mergangsan. Satu-satunya asset yang tersisa hanya odhok Norton yang bunyinya dhun dhun dhun.
Begitu juga dengan Sumilah yang kerap dipanggil mbak Sum. Sejak suami sirinya minggat dia harus menghidupi tiga orang anak yang lagi butuh-butuhnya biaya. Tertua kelas 3 SMA, adiknya kelas 1 SMK dan si bungsu kelas 2 SMP. Memang ketiganya bukan anak dari suami siri, melainkan dari suami terdahulu yang minggat karena tidak mampu membiayai kebutuhan hidupnya.
Sumilah pun minta bantuan Kang Parman agar suami sirinya – seorang kontraktor yang berburu proyek di sejumlah kabupaten – pulang. Tapi hingga enam kali Selasa Legi membuang ingkung suami sirinya tidak juga pulang. Bahkan semua nomer teleponnya sudah diganti dan semua akun media sosial sudah tidak aktif.
Satunya lagi Tukiran pengemudi box yang diam-diam naksir anak juragan. Meski pun hanya sopir dengan gaji Rp 2 juta sebulan Tukiran merasa dirinya tampan. Berharap anak juragan yang belum menikah meskipun sudah berumur 42 tahun terpikat padanya. Eh, sudah sembilan ingkung dibuang tapi anak juragan itu sikapnya masih biasa-biasa saja. Bahkan Tukiran mendengar kabar anaknya juragan pacaran dengan duda anak lima pemilik toko mainan anak di Bausasran.
Yang terakhir, Yu Narni yang usaha angkringan di dekat Museum Perjuangan. Sudah dua tahun dia terlilit pinjaman online – berharap angkringannya laris sehingga dia mampu membayar utang yang tadinya Rp3,5 juta bengkak menjadi Rp17 juta. Namun hingga 7 kali Minggu Pon membuang ingkung angkringannya malah sepi. Mungkin saja karena Pandemi, banyak mahasiswa yang tidak kos lagi setelah belajar secara online. Tapi, masak sih mbah Danyang tidak bisa menggerakkan hati pembeli yang tersisa datang ke angkringannya.
Singkat cerita, keempat klien Kyai Parman Hardjo Pameungpeuk, lewat pengacaranya melayangkan somasi, agar Kyai Parman menjelaskan kenapa ingkung-ingkung yang dipersembahkan kepada mbah Danyang Haur Koneng itu tidak mengubah keadaan. Jangan-jangan Kyai Parman sudah tidak dipercaya lagi oleh Mbah Danyang, atau lama tidak tirakatan sehingga mbak Danyang pulang ke Pameungpeuk?
“Angkringan saya malah tambah melik-melik, piye to?” gugat Yu Narni yang karena somasinya tidak dijawab, dengan mengajak Tukiran dan Sumilah mendatangi rumah Kyai Parman di Gang Lowanu.