DIA tahu siapa saja yang sering membuang sesajen ingkung dan rokok kemenyan di Jembatan Tungkak. Maka setiap Kamis Kliwon, Selasa Legi, Jum’at Pahing atau Minggu Pon dia sering pura-pura mancing di bawah jembatan. Tak lama kalau hari Kamis Kliwon terdengar dhun dhun suara Norton berhenti di atas jembatan, itu ingkungnya yang paling lezat.
Nah, Paidi tidak pernah melewatkan mancing di hari yang dia hafal benar kapan orang membuang ingkung. Para pembuang ingkung pun tahu betul kapan jam paling sepi untuk beroperasi. Menyadap omongan teman-temannya yang sering main ceki di pos ronda, hajat yang diinginkan pembuang ingkung akan ngabar (gagal) kalau tindakannya diketahui orang.
“Mbah Dhanyang akan enggan menyantapnya kalau ingkung yang dipersembahkan kepadanya diperawani orang. Rokok kemenyan pun enggan diisapnya,” kata Kang Parman yang paling hafal rapalan sedulur papat lima pancer setiap gendurenan (kenduri) di kampungnya.
Padahal ingkung itu enak. Satu ayam utuh dibumbui aneka rempah. Paidi yang setiap hari pekerjaannya mengayuh becak dengan penghasilan rata-rata Rp30 ribu per hari tak pernah mampu membeli, jangankan ingkung, satu ayam utuh dengan kepala dan leher melingkar di atas dada dan sayap, membeli ayam goreng paha atau dada yang harganya Rp 8 ribu saja tidak mampu.
Apa lagi ketiga anaknya, tertua 8 tahun, kedua 5 tahun, dan ketiga 3 tahun, makannya begitu lahap kalau lauk ingkung. Seperti bebek diransum dhedhak dan bekicot. Setidaknya ada kebahagiaan kecil di keluarganya setiap Paidi pulang membawa ingkung.
Ingkung itu, kata Kang Parman yang juga membuka praktik perdukunan di rumahnya, harus dibuang ke tempat-tempat ramai dan banyak dilewati orang seperti jembatan, perempatan, pasar atau terminal. Hanya saja saat menaruh ingkung harus di jam-jam sepi. Tak boleh siapa pun yang tahu saat menaruh ingkung.
Ini pula yang membuat Paidi mengintai dari bawah jembatan. Pura-pura mancing. Maka dia pun hafal jadwal siapa-siapa saja yang menaruh ingkung di trotoar Jembatan Tungkak.
Kamis Kliwon lelaki tinggi besar bermotor moge lawas, Selasa Legi mbak-mbak berkebaya yang jalan kaki, Jumat Pahing mobil box warna silver, dan Minggu Pon mbak-mbak bersepeda motor bebek.
Tapi Paidi tidak pernah melihat wajah, hanya sosok lelaki atau perempuan yang berkelabat di atas jembatan.
Dalam rentang selapan atau 35 hari Paidi 4 kali membawa ingkung ke rumah. Sehingga ketiga anaknya tidak stunting – kurang gizi – seperti umumnya anak-anak keluarga miskin perkotaan.
Untuk itu Paidi sering mendoakan agar siapa pun yang menaruh ingkung dijabah keinginannya. Bisa menjadi promosi bagi yang lain agar berlomba-lomba menaruh ingkung di trotoar Jembatan Tungkak.
***
Sudah hampir setahun, mas Bambang yang brewok bertubuh besar dengan kaos oblong “Harley-Davidson” lusuh menaruh ingkung di Jembatan. Tapi rejekinya masih saja seret. Rumahnya yang di Jl. Sorosutan sudah disita bank. Begitu juga dengan cucian mobil yang menempati pekarangan rumah warisan orang tuanya di Mergangsan. Satu-satunya asset yang tersisa hanya odhok Norton yang bunyinya dhun dhun dhun.
Begitu juga dengan Sumilah yang kerap dipanggil mbak Sum. Sejak suami sirinya minggat dia harus menghidupi tiga orang anak yang lagi butuh-butuhnya biaya. Tertua kelas 3 SMA, adiknya kelas 1 SMK dan si bungsu kelas 2 SMP. Memang ketiganya bukan anak dari suami siri, melainkan dari suami terdahulu yang minggat karena tidak mampu membiayai kebutuhan hidupnya.