“Bojoku minggat ora bali-bali (Suamiku pergi tak pulang-pulang),” timpal mbak Sum.
“Saya tidak mau jadi Lesmana Wuyung,” lanjut Tukiran teringat kisah Lesmana – anak Prabu Duryudana yang lamaran kawinnya selalu ditolak gadis yang diincarnya.
“Njenengan itu dukun mbelgedes,” teriak mbak Sum saat Kyai Parman Hardjo Pameungpeuk keluar dari pintu rumahnya.
“Sabar.. sabar.. mas Tuk, mbak Sum, Yu Narni. Apakah waktu menaruh ingkung njenengan yakin tidak ada yang melihat? ” ucap Kyai Parman berkilah.
“Yakin, saya sudah survei lokasi sebelumnya. Tengok kanan kiri muka belakang. Sepi. Tidak ada orang. Tukang becak pun sudah tidak ada yang melintas,” tutur Tukiran sambil bergantian membaca wajah dua perempuan di kiri dan di kanannya.
“Betul itu,” sambung Yu Narni
“Saya pun idem dito sama mas Tukiran,” sahut mbak Sum.
“Alah nggaya, pakai idem dito segala,” timpal Yuk Narni seraya mencubit pinggangnya yang mekar.
“Yakin saat menaruh ingkung tidak dilihat orang?” tanya Kyai Parman.
“Haqqul yakin,” jawab ketiganya serentak.
“Bagaimana dengan kamera CCTV?”
Ketiganya terkesiap. Saling bertatap. Dari kejauhan terdengar suara dhun dhun. Mas Bambang pastinya. “Maaf saya terlambat,” katanya dan langsung bergabung ketiga rekannya yang bernaung di bawah Komite Aksi Korban Perdukunan (KOAKOP).
“Piye.. piye…,” kata mas Bambang.
“Kita yang salah, mas. Apes,” jawab mbak Sum.
“Kok salah?” tanya mas Bambang.
“Aksi kita rupanya diintai kamera CCTV,” sahut Tukiran yang lemes saat melihat Kyai Parman menyodorkan flashdisk – mungkin isinya rekaman CCTV.
“Mari kita sama-sama lihat rekaman CCTV bagaimana nasib ingkung kita,” ajak Kyai Parman seraya mengajak tamu-tamunya merapat ke televisi digital miliknya. Lewat TV digital itu Kyai Parman memutar rekaman CCTV yang didapat dari ruko di sekitar Jl. Kolonel Sugiyono.
Dari rekaman kamera CCTV itu terlihat wajah Paidi mengendap-endap dari bawah jembatan kemudian mengambil ingkung di dalam besek yang tergeletak di trotoar jembatan. Ingkung itu dimasukkannya ke dalam sarung. Sambil membawa pancingan dan sarung Paidi pergi ke arah Jl. Harmoni Raya.
“Jindhul, Paidi to mbah Danyangnya?” seketika Tukiran yang mengenalnya nyaris berteriak.
“Tenang bapak-bapak, ibu-ibu, Ingkung masih bisa diselamatkan kalau Paidi mau menyerahkan jiwa raganya. Kalau tidak tiga orang anaknya bisa menjadi korban keganasan mbah Danyang. Dia harus menjadikan dirinya bekakak Tungkak,” saran Kyai Parman.
“Caranya?” tanya mas Bambang.
“Kita surati dia supaya mau menceburkan diri dari atas Jembatan saat Kali Code banjir, atau membiarkan anaknya satu per satu dimakan mbah Danyang,” papar Kyai Parman.