“Bagus juga itu. Ayo segera kita mulai. Makin cepat makin bagus,” tandas mas Bambang.
****
Paidi bingung. Dia merasa tidak nyolong. Melainkan hanya nemu ingkung di trotoar. Tapi kok ada yang merekamnya. Sehingga dia menerima surat ancaman agar menyerahkan jiwa raganya atau anaknya satu per satu dimakan mbah Danyang.
“Oh, tidak. Biarkan saya saja yang jadi korban. Tapi kalau saya dimakan mbah Danyang siapa nanti yang memberi makan tole dan gendhuk. Memang, mereka dhokoh makan ingkung karena dari kecil hanya makan mie instan, tapi kalau nyawa saya paduka ambil siapa yang nanti memberikan mie instan anak-anak saya mbah Danyang!” protes Paidi sebelum membebatkan kain hitam di kepalanya, di tengah hujan deras di atas jembatan Tungkak.
Tapi mungkin harus begitu jalan hidupnya. Orang yang terlahir miskin sejak embah-embahnya, mungkin tidak boleh menikmati kemenangan kecil, sebatas membawa ingkung ke rumah. Dinikmati dengan lahap oleh ketiga anak dan istrinya yang sejak lahir selalu kalah.
Paidi ingat waktu sekolah yang raportnya selalu banyak warna merah. Bagaimana tidak merah? Saat anak-anak sebayanya belajar Paidi harus buruh nyemir sepatu ke stasiun Lempuyangan. Pulangnya capai, tidur, maka dia berhenti sekolah karena merasa dunianya tidak di sana. Dunianya di jalanan yang kalau tidak bergerak mampus lah dia. Ora obah ora mamah.
Sekarang Paidi pasrah. Menyerahkan jiwa raganya kepada mbah Danyang. Bayangan gendhuk dan tole masih menjepit kelopak matanya. Hujan bertambah deras. Paidi bertekad mengorbankan dirinya supaya nyawa gendhuk dan tole tidak digaglak Mbah Dhanyang.
Kaki kanannya sudah menapak pagar pembatas jembatan saat tiba-tiba kedua lengannya dicengkeram kuat-kuat dari kedua sisi. Mereka pun melepaskan kain hitam di kedua matanya. Tampak keempat orang memohon-mohon sambil berlutut agar Paidi mengurungkan niatnya.
Oh, Kang Parman yang mereka sebut Kyai Parman Hardjo Pameungpeuk juga ada di sana. Juga lelaki tinggi besar, satunya lagi Tukiran sopir box yang sudah dikenalnya dan dua perempuan yang selama ini hanya dilihatnya dari kejauhan.
Mereka memohon-mohon agar Paidi mau memaafkan apa yang mereka perbuat. Mungkin itu kehendak mbah Danyang tapi mbah Danyang sendiri sudah membatalkan perintahnya, paling tidak itu kata Kang Parman.
“Biar bagaimana ini sudah kehendak mbah Danyang. Saya tidak mau nyawa ketiga anak saya digaglak Mbah Dhanyang,” kata Paidi, tetap meronta hendak menceburkan diri ke sungai.
“Percaya aku Di, kakangmu ini sudah sowan mbah Danyang. Dia sudah merelakan ingkung–ingkungnya kau ambil. Mbah Danyang prihatin, di kota pelajar yang banyak turis ini masih ada orang seperti kamu yang tidak mampu beli daging ayam. Ngisin–isini Kanjeng Sinuhun. Sudah, sana, pulang, temui anak-anakmu,” kata Kang Parman.