Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Berhari-Hari Hujan Sesudah Itu Imlek

Redaksi
×

Berhari-Hari Hujan Sesudah Itu Imlek

Sebarkan artikel ini
Mata Budaya (2)

BARISAN.CO – Gus Dur kita tahu adalah presiden RI yang memberi ijin toapekong kembali beredar. Ialah setelah di sepanjang era Orde Baru para dewa itu tidak boleh keluar dari rumah pemujaannya klenteng.

Mungkin secara mata budaya Gus Dur (ingat beliau pernah menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta dalam satu periode) mau mengatakan, itu kirab budaya. Lalu sesuai dengan arti toapekong atau klenteng adalah penamaan untuk manusia atau benda.

Jadi, bukankah itu sama dengan kiai, yang di kraton Jawa adalah penamaan untuk manusia, gamelan, bahkan kerbau. Sebagaimana dalam kirab Sekaten (dari asal kata sahadat+en) ada kirab para kiai keluar dari kraton.

Dari dasar ini bisa dikatakan, setiap agama sebenarnya sama, BERTUHAN SATU — sebagaimana diktum dalam Pancasila: Ketuhanan yang maha esa. Intinya berdoa, tutur Rosa seorang penganut ajaran Konghucu, hanya caranya berbeda.

Apalagi di zaman post truth, pasca kebenaran, bahwa setiap pemikiran mengandung kebenaran, terlebih di era digital, setiap pembenaran mengandung kebenaran.

Sebagaimana dalam satu statusnya di media sosial, budayawan Tegal Lutfi AN mempertanyakan: mengapa setiap menjelang Imlek hujan turun sehari-hari. Disambut komentar, ya hujan kan peristiwa alam biasa.

Lalu komentar lain jadi beragam. Ada yang mengingatkan mengenai banjir di mana-mana, longsor yang disebut sebagai bencana alam. Kemudian komentar lain menampik, lho alam kok bencana, siapa yang merusak alam?

Lebih menarik pemikiran seniman dan sosiawan Teha Edy Djohar. Dia membuat status ajakan: Ayo kita membantu para korban banjir dengan memberi bantuan nasi bungkus di setiap kampung.

Sampai kemudian Ketua Paguyuban Petani Indonesia, Dumadi, memberikan pemahaman. Bahwa, Imlek dari bahasa Hokyan, khususnya dalam bahasa Kuoyi disebutkan pengertian Nungli adalah petani yang dilambangkan sebagai hujan dan atau kemakmuran.

Selebihnya inilah fenomena, betapa tahun baru China Imlek adalah penanda berawalnya musim semi. Bahkan di Indonesia, bertepatan dengan saat curah hujan berdebit tinggi dan turun sehari-hari. Belum lagi derita para pengungsi, terlebih di era pandemi.

Maka Ebiet G Ade pun berdendang: mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang…***