Scroll untuk baca artikel
Kisah Umi Ety

Berkomunikasi Secara Baik Dengan Anak (Bagian Empat)

Redaksi
×

Berkomunikasi Secara Baik Dengan Anak (Bagian Empat)

Sebarkan artikel ini

KOMUNIKASI yang baik antara orang tua dan anak sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu antara lain bercirikan proses yang dialogis dan isi yang logis. Pembiasaan komunikasi yang baik tidak hanya membantu anak berkembang menjadi makin pintar, melainkan juga membuat orang tua harus terus belajar. Membuktikan bahwa belajar memang proses seumur hidup.

Orang tua akan terus berusaha berbicara dengan kalimat lengkap yang jelas, terbuka untuk dialog, dan isinya sesuai logika. Cara berkomunikasi itu akan membatasinya untuk umbar kejengkelan atau kemarahan kepada anak. Orang tua butuh waktu berfikir tiap mau berkata, yang biasanya langsung mengurangi hawa amarah.

Bukan berarti orang tua tidak boleh mengekspresikan sikap marah kepada anak. Sesekali anak membutuhkan teguran keras atau isyarat rasa marah orang tua karena kejadian tertentu. Namun, hal itu mesti memiliki alasan yang tepat. Dan yang lebih penting, anak bisa mengerti alasan tersebut.

Sebagai orang tua kadang kurang sabar atau bahkan mudah emosi ketika sedang lelah atau banyak pikiran. Pada kondisi demikian, perilaku anak yang tidak sesuai dengan keinginan atau harapan orangtua mudah memicu kejengkelan. Misalnya yang sering terjadi, anak banyak bermain sejak pulang sekolah, sehingga tidak tidur siang.

Sebenarnya didasari kekhawatiran si anak akan kelelahan, sehingga tidak bisa belajar. Akan tetapi, ekspresi orangtua dalam kondisi lelah sering berupa omelan atau perkataan dengan nada marah. Suasana dipastikan menjadi tidak nyaman. Anak yang dimarahi memang menuruti perintah, namun dengan tidak sepenuh hati.

Pengalaman saya dalam kondisi demikian, ketika terasa marah dan mau mengomel, mencoba menenangkan diri dengan menarik dan hembuskan nafas. Sesudah agak tenang baru saya bicara, “Hari ini ummi lihat kamu sudah cukup banyak bermain. Nanti sesudah sholat Magrib, belajar ya!”  Biasanya, anak lebih cepat menuruti dan suasana belajarnya pun akan lebih nyaman. 

*******

Komunikasi yang baik bisa dimanfaatkan untuk menyepakati berbagai aturan untuk anak. Aturan yang dibuat dengan kesepakatan antara orang tua dan anak umumnya lebih efektif. Proses itu juga membelajarkan mereka memiliki rasa tanggung jawab dan mengerti konsekwensi tindakannya.

Salah satu pengalaman terkait adalah antara saya dengan Adli ketika masih SMP. Adli bersekolah di Boarding School Kharisma Bangsa di Tangerang, dengan beasiswa dari yayasan pengelolanya. Ketika pulang liburan di rumah, dia sering main keluar bersama teman-teman lamanya ketika SD. 

Saya biasanya berpesan agar pulang paling lambat jam 4 sore, supaya tidak kesorean untuk sholat Ashar. Selama satu dua hari awal, dia selalu pulang sekitar jam 5 sore.  Saya menegurnya, “Kenapa pulangnya sore sekali?” Dia menjawab, “Tempat mainnya jauh.” “Diatur nang, agar jam setengah empat sudah bersiap pulang,” kata saya menyarankan.

“Susah Mi, kan bersama teman-teman,” jawab Adli. Melihat ekspresi wajahnya ketika menjawab, saya mecoba berkompromi. “Gimana kalau antara jam 4 dan jam 5 sore saja, berarti jam 4.30 sore sudah sampai rumah. Bisa?” saya menawarkan kompromi. “Bisa” jawabnya.

Saya menegaskan kembali agar menjadi aturan yang jelas, “Jadi paling telat pulang jam 4.30 sore. Lebih dari waktu itu, besoknya tidak boleh main.” Dia mengiyakan. Jadilah kami punya kesepakatan. Suatu ketika, Adli pulang lebih dari jam 4.30 sore, maka besoknya dia tidak main keluar rumah.

Berhubungan dengan kisah ini, saya pernah bertemu dengan ibunya teman Adli ketika masih di TK. Dia mengeluhkan anaknya yang dilarang main keluar rumah justeru sering mencuri kesempatan ketika sedang bekerja di tokonya yang dekat dari rumah. Tidak ditutupi rasa jengkelnya atas itu.