DEMIKIANLAH, betapa “hak” itu sangat suci. Tak bisa diremehkan atau dilanggar, bahkan oleh negara sekalipun. Kenyataan di negeri ini, seakan baru kemarin sore kita berdemokrasi, betapa kebebasan berbicara, menulis dan berserikat, tiba-tiba menjadi sesuatu yang menggembirakan.
Sesuatu yang mudah terjangkau, murah, bahkan gratis. Saking murah dan mudahnya bersuara, silang sengkarut gagasan, pendapat, tulisan, saling dukung dan saling caci mengemuka dan tersiar dengan mudah, dalam kondisi tertentu bikin eneg dan apolitis. Bagi saya tak jadi soal.
Yang eneg dan benci bicara politik, yang bersikap netral dan kritis terhadap pilpres, yang jenuh dengan koalisi-koalisian di gedung DPR, hingga yang vulgar hendak bubarkan kelompok agama, itu semua adalah wujud dari hak berpendapat. Itu adalah kebenaran. Dan itu sangat suci.
Lantaran kesuciannya, barangkali akan terasa tidak wajar, kalau ada seseorang atau beberapa kolega yang bersuara rada meremehkan pihak yang telah berani menyuarakan gerundelan. Seakan seorang yang telah menentukan pilihan, menuliskan pendapat, menyuarakan opini, itu sebuah tindakan bodoh.
Sedang yang anteng tak mengambil pilihan, tak bersuara sumbang, itu mulia. Saya rasa tidak demikian. Yang mengambil keputusan untuk ini, untuk itu, berarti telah memberi ransum makanan ruhani. Serasa tak etislah, sekira kita menganggap diri lebih tepat dan pener dalam bersikap ketimbang yang lain.
Soal tendensius, wajarlah! Sebab dalam menimbang pilihan tak mungkin lepas dari perasaan suka tak suka. Dalam berpendapat, wajar kalau ingin menonjolkan calon pilihan. Dalam bersuara, wajar kalau berhendak menampilkan konsep dan kepribadian sang calon. Yang tak wajar, menyudutkan gestur atau gaya fisik, macam kerling mata, gaya bicara yang tak cekatan, dan sebagainya.
Lepas dari itu semua, saya patut bersyukur hidup di kurun penuh heroik ini. Saya hidup saat gelombang demokratisasi semarak. Pancasila yang nyaris redup, bahkan dimitoskan, kini mulai digali lagi falsafah nilainya.
Gagasan pluralisme, kebhinnekaan semakin mengemuka tak terbendung, meski dari beberapa kelompok agama juga ada yang getol mengadang laju pluralisme dan liberalisme. Kelompok agama itu biasa bernaung di balik kepastian makna teks suci, berlindung di balik terjemahan literal, dan malas meluaskan pengayaan makna filosofis.
Saya ada, punya contoh kelompok muslim yang cenderung literal. Kelompok ini menjamur di daerah-daerah yang justru berlatar sejarah abangan. Dari kelompok ini pula, saya menemu konsep puritan: literalisme, antirasionalisme, dan antiinterpretasi.
Dari pengajian mereka, kerap disinggung bahaya rasionalisme, bahaya filsafat, dan tasawuf. Saya menemukan mereka sedemikian tegas membelah manusia hanya dalam dua kutub berseberangan: Islam versus Kafir.
Menurut mereka, sebagai muslim mesti tegas dan jelas membenci bahkan memusuhi nonmuslim. Muslim dilarang untuk terlebih dahulu memberi ucapan salam/selamat kepada nonmuslim. Dan kalau pun membalas ucapan salam dari mereka, semestinya tak sampai mendoakan keselamatan atau kedamaian.
Terus terang, saya rada gemas, walau sadar, pilihan eksklusif itu hak mereka. Mereka berhak eksklusif, tertutup dengan pikiran pluralisme dan liberalisme. Namun, semestinya juga mereka menerima perbedaan pandangan dari kelompok lain.
Dari situlah, saya berpikir mesti ada otokritik. Kritik ke dalam tubuh umat Islam tentang keberadaan kawanan kelompok yang coba menguasai otoritas “perintah Tuhan” dengan cara intoleransi dan menebar kebencian pada yang lain.
Keberadaan kelompok ini nyata. Mereka menabuh genderang kebencian dan antipluralisme. Mereka punya basecamp dan kita bisa bertandang ke sana untuk cek kebenaran berita.
Mereka meruntuhkan keluhuran ajaran dan kemuliaan Islam dengan menebar kebencian kepada Jamaah Ahmadiyah. Benci Syiah. Benci Amerika. Benci Israel. Mereka vulgar melarang ritual tahlilan, yang biasa dilaksanakan kelompok salaf.
Hmm, saya berkeyakinan bahwa Tuhan menghadirkan manusia ke muka bumi, tak sekadar untuk hadir, tapi tertuntut tanggung jawab memberadabkan bumi. Memberadabkan sama artinya dengan tidak menyebar kekerasan, tidak menebar kebencian, tidak mengusung intoleransi.
Tanggung jawab kita itu tak merusak keindahan warna-warni ciptaan Tuhan, tak melukai perasaan sesama, dan tak menyakiti nalar sehat yang lain. Memberadabkan bumi adalah mewujudkan nilai kebertuhanan di atas muka bumi. Menyebarluaskan sifat-sifat yang merupakan inti kebertuhanan, yaitu keadilan, dan kasih sayang.
Gerakan-gerakan puritan, yang kini marak di media sosial, selalu menyikapi segala sesuatu dengan logika konspirasi. Juga logika kekerasan. Logika sebagai kelompok yang lebih unggul dan superior. Beserta sikap arogansi, merasa benar ketika berhadapan dengan kelompok berbeda.
Tatkala berhadapan dengan teks suci, kelompok puritan acap membesar-besarkan peran teks ketimbang nalar logis manusia. Seakan makna teks itu sudah jelas bin gamblang, sehingga subjektivitas manusia dalam menafsirkan teks tidaklah relevan untuk mengimplementasi perintah Tuhan.
Terkesan pula, dari ulah mereka, bahwa satu-satunya Islam yang benar adalah Islam yang bercorak budaya Arab Saudi. Hanya ada satu Islam sejati, yakni yang senantiasa mendasarkan diri pada kata demi kata kitab suci secara literal. Upaya rasionalisasi, upaya pendalaman makna kata, upaya memasuki lorong esoteris, mereka sebut upaya pengaburan kesejatian Islam.
Sungguh, saya tak mengerti. Dan betapa tak gampang menghargai hak beragama. Betapa mereka, yang puritan, itu menggemaskan.
Diskusi tentang post ini