Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Betapa Menggemaskan

Redaksi
×

Betapa Menggemaskan

Sebarkan artikel ini

DEMIKIANLAH, betapa “hak” itu sangat suci. Tak bisa diremehkan atau dilanggar, bahkan oleh negara sekalipun. Kenyataan di negeri ini, seakan baru kemarin sore kita berdemokrasi, betapa kebebasan berbicara, menulis dan berserikat, tiba-tiba menjadi sesuatu yang menggembirakan.

Sesuatu yang mudah terjangkau, murah, bahkan gratis. Saking murah dan mudahnya bersuara, silang sengkarut gagasan, pendapat, tulisan, saling dukung dan saling caci mengemuka dan tersiar dengan mudah, dalam kondisi tertentu bikin eneg dan apolitis. Bagi saya tak jadi soal.

Yang eneg dan benci bicara politik, yang bersikap netral dan kritis terhadap pilpres, yang jenuh dengan koalisi-koalisian di gedung DPR, hingga yang vulgar hendak bubarkan kelompok agama, itu semua adalah wujud dari hak berpendapat. Itu adalah kebenaran. Dan itu sangat suci.

Lantaran kesuciannya, barangkali akan terasa tidak wajar, kalau ada seseorang atau beberapa kolega yang bersuara rada meremehkan pihak yang telah berani menyuarakan gerundelan. Seakan seorang yang telah menentukan pilihan, menuliskan pendapat, menyuarakan opini, itu sebuah tindakan bodoh.

Sedang yang anteng tak mengambil pilihan, tak bersuara sumbang, itu mulia. Saya rasa tidak demikian. Yang mengambil keputusan untuk ini, untuk itu, berarti telah memberi ransum makanan ruhani. Serasa tak etislah, sekira kita menganggap diri lebih tepat dan pener dalam bersikap ketimbang yang lain.

Soal tendensius, wajarlah! Sebab dalam menimbang pilihan tak mungkin lepas dari perasaan suka tak suka. Dalam berpendapat, wajar kalau ingin menonjolkan calon pilihan. Dalam bersuara, wajar kalau berhendak menampilkan konsep dan kepribadian sang calon. Yang tak wajar, menyudutkan gestur atau gaya fisik, macam kerling mata, gaya bicara yang tak cekatan, dan sebagainya.

Lepas dari itu semua, saya patut bersyukur hidup di kurun penuh heroik ini. Saya hidup saat gelombang demokratisasi semarak. Pancasila yang nyaris redup, bahkan dimitoskan, kini mulai digali lagi falsafah nilainya.

Gagasan pluralisme, kebhinnekaan semakin mengemuka tak terbendung, meski dari beberapa kelompok agama juga ada yang getol mengadang laju pluralisme dan liberalisme. Kelompok agama itu biasa bernaung di balik kepastian makna teks suci, berlindung di balik terjemahan literal, dan malas meluaskan pengayaan makna filosofis.

Saya ada, punya contoh kelompok muslim yang cenderung literal. Kelompok ini menjamur di daerah-daerah yang justru berlatar sejarah abangan. Dari kelompok ini pula, saya menemu konsep puritan: literalisme, antirasionalisme, dan antiinterpretasi.

Dari pengajian mereka, kerap disinggung bahaya rasionalisme, bahaya filsafat, dan tasawuf. Saya menemukan mereka sedemikian tegas membelah manusia hanya dalam dua kutub berseberangan: Islam versus Kafir.

Menurut mereka, sebagai muslim mesti tegas dan jelas membenci bahkan memusuhi nonmuslim. Muslim dilarang untuk terlebih dahulu memberi ucapan salam/selamat kepada nonmuslim. Dan kalau pun membalas ucapan salam dari mereka, semestinya tak sampai mendoakan keselamatan atau kedamaian.

Terus terang, saya rada gemas, walau sadar, pilihan eksklusif itu hak mereka. Mereka berhak eksklusif, tertutup dengan pikiran pluralisme dan liberalisme. Namun, semestinya juga mereka menerima perbedaan pandangan dari kelompok lain.

Dari situlah, saya berpikir mesti ada otokritik. Kritik ke dalam tubuh umat Islam tentang keberadaan kawanan kelompok yang coba menguasai otoritas “perintah Tuhan” dengan cara intoleransi dan menebar kebencian pada yang lain.