Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Bismi Rabbika

Redaksi
×

Bismi Rabbika

Sebarkan artikel ini

PROF. QURAISH SHIHAB menjelaskan bahwa secara bahasa kata “wahyu” berarti “isyarat yang tepat”. Sementara menurut terminologi adalah “informasi Tuhan kepada manusia pilihan-Nya menyangkut ajaran agama”.

Nah, Nabi Muhammad saw. menuturkan bahwa apa yang diinformasikan Tuhan itu langsung terpatri dalam kalbu beliau. Padahal, ada beragam cara beliau menerima wahyu, dan yang paling sering adalah melalui kehadiran malaikat.

Malaikat biasanya akan tampil dalam wujud aslinya, dan Nabi Muhammad saw—karena dimensi kepribadian belaiu berada di tingkat malaikat—dapat melihatnya dengan mata kepala. Atau juga, tak jarang malaikat yang beralih dari dimensi malaikat—yang tercipta dari cahaya—ke dimensi manusia—yang tercipta dari tanah.

Wahyu pertama turun ketika Nabi saw. dalam usia 40 tahun lebih enam bulan—ada juga yang berpendapat setelah usia 42 tahun, atau 43 tahun—sedang merenung menyendiri di Gua Hira. Malaikat Jibril tiba-tiba menemui beliau, merangkul dan meminta beliau agar membaca. Beliau dirangkul sedemikian kuat, seperti yang beliau tuturkan yang diriwayatkan Bukhari, “Telah kurasakan (puncak) kepayahan.” Atau sebuah perasaan lain yang tak biasa, “Aku mengira bahwa itulah (proses awal) kematian.”

Ada perasaan takut, teramat kaget, hingga saat beliau tiba di rumah meminta sang istri tercinta untuk menyelimuti. Khadijah, setelah mendengar cerita beliau, berusaha menenangkan, dan keesokan hari mengajak beliau menemui Waraqah ibn Naufal, anak paman Khadijah.

Singkat kisah, terkuaklah akhirnya bahwa beliau merupakan manusia pilihan Tuhan untuk membimbing umat manusia. Waraqah pun sedari dini mengingatkan bahwa, “Tidak seorang pun yang datang membawa serupa yang engkau bawa, kecuali dimusuhi dan diperangi orang.”

Ya, Muhammad saw. tidak bisa mengelak dari ketetapan Tuhan. Terlebih kalau menilik wahyu pertama, Bacalah. Jelas beliau bukanlah orang yang pandai baca tulis. Walau harus ditandaskan di sini bahwa ketidakbisaan beliau dalam membaca dan menulis, bukan berarti tingkat literasi beliau rendah. Tidak demikian dalam menilai beliau.

Kita harus jujur dalam membaca sejarah, bahwa pada masa jahiliyah, karena sulitnya menemu alat tulis, maka kemampuan menghafal sangat diandalkan dan malah menjadi tolok ukur keluasan pengetahuan. Justru, saat itu, orang yang bisa membaca dan terutama menulis adalah orang yang lemah ingatan dan tidak memiliki pengetahuan yang banyak.

Sehingga, berbeda banget dengan zaman kita, bahwa tolok ukur literat adalah kemampuan membaca dan menulis, bukan menghafal. Sementara kemampuan literasi Nabi Muhammad saw. adalah menghafal, dan itu terbukti dalam sejarah. Bahwa beliau dalam waktu singkat bisa membalik peradaban. Bahwa dengan kekuatan menghafal sanggup menggulung dua imperium besar, Romawi dan Persia. Berikut beliau pun tercatat di tangga pertama sebagai tokoh dunia paling berpengaruh (lihat The 100 karya Michael Hart, sejarawan Amerika).  

Jadi, Prof. Quraish menggarisbawahi pesan wahyu pertama itu, “Bacalah demi karena Tuhanmu,” sebagai perintah baca yang tak menyebut objek, tapi alasan atau tujuan membaca. Bahwa membaca bisa apa saja, baik yang tertulis maupun yang terhampar. Bahwa yang dibaca bisa yang disenangi maupun yang dibenci. Asal semua itu karena Tuhan.

Bismi Rabbika,” adalah “Dengan atau Demi karena Tuhanmu.” Ya, membaca apa saja, motivasinya tiada lain adalah Bismi Rabbika. Begitulah seharusnya, karena memang itulah wahyu pertama yang diterima Muhammad saw.