Scroll untuk baca artikel
Blog

BJ Habibie, Presiden dan Bapak Teknologi Indonesia

Redaksi
×

BJ Habibie, Presiden dan Bapak Teknologi Indonesia

Sebarkan artikel ini

Gagasan atau Pemikiran

Teori Pembangunan Ekonomi  Habibie

Menjadi pimpinan di Industri Pesawat Terbang skala besar di Jerman selama bertahun-tahun memberikan inspirasi dan mempengaruhi pemikiran Habibie. Berlandaskan pengalaman itu, Habibie memiliki keyakinan bahwa untuk bisa menjadi negara maju tidak selalu perlu melewati “tahap-tahap” pembangunan yakni pertanian/agraris industri pengolahan pertanian, manufaktur, industri teknologi rendah/menengah baru ke teknologi tinggi. Ia mengemukan teori pembangunan ekonomi negara yang berbeda yakni “Dari negara agraris langsung melompat ke tahap negara industri teknologi tinggi”, tanpa harus menunggu dan melewati kematangan indsutri pertanian, atau tahapan industri manufaktur serta teknologi rendah.

The basis of any modern economy is in their capability of using their renewable human resources. The best renewable human resources are those human resources which are in a position to contribute to a product which uses a mixture of high-tech.” (Sumber : BBC: BJ Habibie Profile -1998.)

Dari teori pembangunan ekonomi tersebut, Habibie sangat menekankan pada kualitas SDM bukan semata SDA. Dengan meningkatkan sumber daya manusia (human resources), maka kita dapat membuat produk berteknologi tinggi dimana memiliki nilai jual yang tinggi.

Hal ini pun akan mentriger berdirinya perusahaan-perusahaan pendukung dengan teknologi lebih rendah. Jadi, prinsip pembangunan industri ala Habibie adalah Top-Down (dari tinggi hingga ke rendah). Sedangkan secara konvensional adalah dari Down-Top (dari industri teknologi rendah ke teknologi tinggi).

Selama masa pengabdiannya di Indonesia, Habibie memegang 47 jabatan penting seperti : Direkur Utama (Dirut) PT. Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN), Dirut PT Industri Perkapalan Indonesia (PAL), Dirut PT Industri Senjata Ringan (PINDAD), Kepala Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Kepala BPPT, Kepala BPIS, Ketua ICMI, dan masih banyak lagi.

Habibie Sebagai Bapak Demokrasi Indonesia

Ketika mendapat amanah menjadi Presiden RI ke-3, kondisi ekonomi, sosial, stabilitas politik, keamanan di Indonesia berada di ujung tanduk “revolusi”. Dengan mengambil kebijakan yang salah serta pengelolaan ekonomi yang tidak tepat.

Maka Indonesia 1998 berpotensi masuk dalam era “chaos” ataupun revolusi berdarah. (catatan : perlu diingat bahwa reformasi 1998 menelan ratusan bahkan ribuan korban pembunuhan dan  pemerkosaan serta serangkaian  kerusuhan, penjarahan, pembakaran, yang terutama ditujukan  pada etnis Tionghoa). Untungnya di tahun 1998, Indonesia tidak masuk dalam era revolusi jilid-2 namun hanya masuk dalam era reformasi.

Belajar dari kesalahan presiden pendahulunya, Jenderal Soeharto, Presiden Habibie memimpin Indonesia dengan cermat, cepat, telaten, rasional dan reformis. Habibie menunjukkan perhatiannya terhadap keinginan bangsa untuk lebih mengerti dan menerapkan prinsip umum demokrasi.

Perhatiannya didasarkan pada pengamatan Habibie pada pemerintahan Orde Lama dan sebagai pejabat pada masa Orde Baru, dimana telah mengarahkan beliau untuk mempelajari situasi yang ada.

Melalui proses yang sistematik, menyeluruh, dan menyatu, Habibie mengembangkan sebuah konsep yang lebih jelas, sebuah pengejewantahan dari proaktif dan prediksi preventive atas interpretasi dari demokrasi sebagai sebuah mesin politik.

Konsep ini kemudian diimplementasikan dalam berbagai agenda politik, ekonomi, hukum dan keamanan seperti:

  1. Kebebasan multi partai dalam pemilu (UU 2 tahun 1999)
  2. Undang Undang anti monopoli (UU 5 tahun 1999)
  3. Kebijakan Independensi BI agar bebas dari pengaruh Presiden (UU 23 tahun 1999)
  4. Kebebasan berkumpul dan berbicara, (selanjutnya masyarakat lebih mengenal istilah demonstrasi)
  5. Pengakuan Hak Asasi Manusia (UU 39 tahun 1999)
  6. Kebebasan pers dan media,
  7. Usaha usaha menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme atau dengan kata lain adalah pemerintahan yang baik dan bersih. (Membuat UU Pemberantasan Tindak Korupsi pada tahun 1999)
  8. Penghormatan terhadap badan badan hukum dan berbagai institusi lainnya yang dibentuk atas prinsip demokrasi;
  9. Pembebasan tahanan-tahanan politik tanpa syarat, (eg. Sri Bintang Pamungkas dan Muktar Pakpahan)
  10. Pemisahan Kesatuan Polisi dari Angkatan Bersenjata.

Dalam waktu yang relatif singkat sebagai Presiden RI, Habibie telah memelihara pandangan modern beliau dalam demokrasi dan mengimplementasikannya dalam setiap proses pembuatan keputusan. Peran penting Habibie dalam percepatan proses demokrasi di Indonesia dikenal baik oleh masyarakat nasional ataupun internasional sehingga beliau dianggap sebagai “Bapak Demokrasi“.

Komitmen beliau terhadap demokrasi adalah nyata. Ketika MPR, institusi tertinggi di Indonesia yang memiliki wewenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, menolak pidato pertanggung-jawaban Habibie (masalah referendum Timor-Timur).

Habibie secara berani mengundurkan diri dari pemilihan Presiden yang baru pada tahun 1999. Beliau melakukan ini, selain penolakan MPR atas pidatonya tidak mengekang beliau untuk terus ikut serta dalam pemilihan, dan keyakinan dari pendukung beliau bahwa beliau akan tetap bisa unggul dari kandidat Presiden lainnya, karena yakin bahwa sekali pidatonya ditolak oleh MPR akan menjadi tidak etis baginya untuk terus ikut dalam pemilihan.

Keputusan ini juga dimaksudkan sebagai pendidikan politik dari arti sebuah demokrasi.

Karena “demokratis”-nya Habibie, maka iapun memberikan opsi referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk menentukan sikap masa depannya.

Namun, perlu dicatat bahwa Habibie bukanlah orang yang bodoh dengan mudah memberikan opsi referendum tanpa alasan yang jelas dan tepat. Habibie sebagai Presiden RI memberikan opsi referendum kepada rakyat Timor-Timur mengingat bahwa Timor-Timur tidak masuk dalam peta wilayah Indonesia sejak deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Secara yuridis, wilayah kesatuan negara Indonesai sejak 17 Agustus 1945 adalah wilayah bekas kekuasaan kolonialisme Belanda yakni dari Sabang (Aceh) hingga Merauke (Irian Jaya/ Papua). Ketika Indonesia merdeka, Timor-Timur merupakan wilayah jajahan Portugis, dan bergabung bersama Indonesia dengan dukungan kontak senjata.

Bagi sebagian orang menganggap bahwa masuknya militer Indonesia di Timor-Timur merupakan bentuk neo-kolonialisme baru (penjajahan modern) dari Indonesia pada tahun 1975. Seharusnya Indonesia tidak ikut campur pada proses kemerdekaan Timor-Timur dari penjajahan Portugis.

Jadi, kita dapat memahami dibalik landasan Habibie dimana provinsi Timor-Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlu dicatat bahwa  kasus Aceh dan Papua berbeda dengan Timor-Timur.

Habibie Sebagai Master of Economic

Sejak era reformasi 1998, tampaknya hanya Habibie yang menjadi presiden yang benar-benar sukses mengelola ekonomi dengan baik. Dalam kondisi yang amburadul, kacau balau baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan tiada hari tanpa demonstrasi, Habibie mampu membawa ekonomi Indonesia yang lebih baik.

Meskipun Presiden Singapura Lee Kuan Yeew berusaha mendiskritkan kemampuan Habibie untuk memimpin Indonesia, toh Habibie menunjukkan bukti. Ketika banyak orang yang menyangsikan bahwa Habibie mampu bertahan selama 3 hari sebagai Presiden.

Namun semua dapat dilalui. Lalu, pihak-pihak yang tidak suka dengan Habibie pun menyampaikan opini bahwa Habibie tidak mampu bertahan lebih dari 100 hari. Sekali lagi, Habibie membuktikan bahwa ia mampu memimpin Indonesia dalam kondisi kritis.

Dari nilai tukar rupiah Rp 15000 per dollar diawal jabatannya, Habibie mampu membawa nilai tukar rupiah ke posisi Rp 7000 per dollar. Ketika inflasi mencapai 76% pada periode Januari-September 1998.

Setahun kemudian Habibie mampu mengendalikan harga barang dan jasa dengan kenaikan 2% pada periode Januari-September 1999. Indeks IHSG naik dari 200 poin menjadi 588 poin setelah 17 bulan memimpin. Tentu, indikator-indikator kesuksesan ekonomi era Habibie tidak dapat diikuti dengan baik oleh masa pemerintah Megawati maupun SBY.

Beberapa keberhasilan ekonomi di era Habibie sebenarnya tidak lepas dari usaha keras dan perubahan mendasar dari para tokoh reformis yang duduk di kabinet seperti Adi Sasono (Men. Koperasi), Soleh Salahuddin (Men. Kehutanan dan Perkebunan), Tanri Abeng (Men. BUMN). Namun, perlu disadari bahwa Habibie bukanlah presiden yang benar-benar reformis dalam menolak kebijakan ekonomi ala IMF.

Dengan keterbatasannya, beliau terpaksa menjalana 50 butir kesepakatan (LoI) antara pemerintah Indonesia dengan IMF, sehingga penangganan krisis ekonomi di Indonesia pada hakikatnya lebih pada penyembuhan dengan “obat generik”, bukan penyembuhan ekonomi “terapis” ataupun “obat tradisional”.  Sehingga ketika meninggalkan tampuk kekuasaan, Indonesia masih rapuh.

Disisi lain, Habibie masih sangat mempercayai tokoh-tokoh Orba duduk di kabinetnya, padahal masyarakat menuntut reformasi. Dan tampaknya, Habibie memang menempatkan dirinya sebagai Presiden Transisi, bukan Presiden yang Reformis.

Habibie Sebagai Cendekiawan Muslim

Kekuasaan adalah amanah dan titipan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, bagi mereka yang percaya atas eksistensi-Nya. Bagi mereka yang tidak percaya atas eksistensi-Nya, kekuasaan adalah amanah dan titipan rakyat. Pemilik kekuasaan tersebut, setiap saat dapat mengambil kembali milik Nya dengan cara apa saja.

(Habibie : Detik Detik yang Menentukan, halaman 31)

Selain memiliki kecerdasan yang tinggi (mungkin orang terjenius dari Indonesia), Habibie dikenal sebagai cendekiawan muslim yang taat sekaligus reformis. Dalam menghadapi berbagai kesulitan, Habibie tidak luput dari do’a dan sholat untuk mendapat petunjuk atau ilham.

Mendapat jabatan sebagai Presiden bagi Habibie merupakan amanah dan titipan dari Allah untuk mengabdi dengan sepenuh hati.

Meskipun tidak terjun dalam dunia politik dan kekuasaan, Habibie tetap memberikan sumbangsih kepada bangsa Indonesia dengan mendirikan The Habibie Centre pada 10 November 1999. Habibie Center merupakan organisasi yang berusaha memajukan proses modernisasi dan demokratisasi di Indonesia yang didasarkan pada moralitas dan integritas budaya dan nilai-nilai agama.

Ada dua misi utama Habibie centre yakni  (1) menciptakan masyarakat demokratis secara kultural dan struktural yang mengakui, menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta mengkaji dan mengangkat isu-isu perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia, dan (2) memajukan dan meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia dan usaha sosialisasi teknologi. Beberapa kegiatan yang dikenal luas oleh masyarakat dari Habibie Centre yakni seminar, pemberian beasiswa dalam dan luar negeri, Habibie Award serta diskusi mengenai peningkatan SDM maupun IPTEK.

Selain mendirian The Habibie Centre, Habibie juga berjasa dalam pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 7 Desember  1990 atas persetujuan Soeharto. ICMI merupakan wahana menampung cendekiawan-cendekiawan muslim untuk bersama-sama berkontribusi bagi bangsa dan masyarakat.

Pada awalnya, ICMI didirikan untuk menampung aspirasi pengusaha non-China  yang benci akan kekayaan dan pengaruh dari keluarga etnis China yang kaya. ICMI mempunyai bank sendiri dan koran harian yang diberi nama Republika. Banyak umat muslim yang ikut terdaftar dalam keanggotaan ICMI termasuk cendekiawan pengkritik pemerintah Soeharto yakni (Alm) Prof. Nurcholish Majid dan Prof. Amien Rais.

Gagasan mengenai Peradaban Teknologi untuk Kemandirian Bangsa

Selama dua puluh tahun lebih Bacharuddin Jusuf Habibie di rantau, lalu kembali ke tanah air, Setelah belajar dan bekerja di Jerman. Ia diberi kepercayaan serta tugas untuk memimpin beberapa jabatan penting dalam pemerintahan dan sejumlah lembaga lainnya.

Jabatan dan tugas penting yang pernah diembannya dalam Kabinet pembangunan adalah portofolio Kementrian Negara Riset dan Teknologi merangkap Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, sejumlah industri strategis, Otorita pengembangan Daerah industri pulau Batam, dan beberapa lembaga lainnya.

Selama itu pula, berbagai pemikiran gagasan dikeluarkannya. Bahkan tidak hanya terbatas pada pemikiran dan gagasan, tetapi ia juga memberikan bukti nyata bahwa pemikiran dan gagasan itu, tidak hanya terhenti pada ucapan dan pidato, tetapi dapat menjadi kenyataan yang dapat menyelesaikan persoalan bangsa.

Pada 1978, terjadilah perubahan mendasar pada kegiatan penelitian di Indonesia ketika B.J. Habibie dilantik menjadi Mentri Negara Riset dan Teknologi/Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Sejak itu pula, kegiatan penelitian lebih terfokus untuk menghasilkan teknologi yang diterapkan bagi keperluan pembangunan.

Akronim Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), mulai populer yang beberapa tahun kemudian disebarluaskan sehingga tercapai kesepakatan nasional (1993) untuk menjadikan Iptek sebagai salah satu asas pembangunan.

Kemudian, muncul gagasan B.J. Habibie mengenai konsep transformasi industri nasional. Gagasan itu pertama kali disampaikan pada sebuah ceramah umum di Bandung, tetapi secara resmi dipublikasikan pada 14 Juni 1983 di Bonn pada ceramah yang judulnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: “Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri suatu Negara sedang Berkembang”.

Pemikiran dan gagasannya tentang transformasi industri misalnya, lahir ketika ia melihat kemampuan dan kesiapan sumber daya manusia yang tersedia, sarana dan prasarana teknologi yang ada pada saat itu masih minim. Ia juga melihat adanya kendala waktu dan ketertinggalan serta keterbelakangan teknologi bangsa kita dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang telah berkembang lainnya.

Dunia penelitian sangat terbatas, peneliti sangat kurang, dana penelitian sangat kecil bahkan hampir tidak ada artinya. Adapun konsep transformasi industri tersebut adalah “Mula dari Akhir dan Berakhir di Awal”. Proses ini merupakan kebalikan dari proses klasik yang selama ini dikenal, tetapi pengembangan unsur-unsur teknologi yang terkait termasuk pengembangan sumber daya manusia dilaksanakan dengan proses normal maju ke depan, dari tingkat dasar hingga tingkat yang paling tinggi.

Dengan empat tahap transformasi teknologi yang diterapkan oleh B.J. Habibie, terlihat jelas bahwa konsep ini merupakan cara yang efisien, realistik, dan sistematik di dalam alih dan difusi teknologi industri untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia di bidang Iptek dari bangsa-bangsa yang telah maju lainnya.

Pengembangan unsur-unsur teknologi yang terkandung di dalam penahapan ini dilakukan secara evolutif, tetapi mengalami percepatan proses karena dilaksanakan dalam rangka penerapan transformasi teknologi yang “Mulai dari Akhir dan Berakhir di Awal” ini.

Oleh B.J. Habibie, unsur-unsur yang terkandung disetiap tahapan transformasi ini disebut satuan mikro evolutif yang dipercepat atau Micro Accelerated Evolution Unit disingkat MAEU. B.J. Habibie biasa mengatakan, kita tidak bisa membuat sebuah penemuan ulang sesuatu teknologi yang sudah lama ditemukan bangsa lain. Karena kita akan tertinggal. Negara industri maju sudah lama menemukan dan menggeluti teknologi canggih.

Untuk melaksanakan program transformasi ini, diperlukan wahana atau kendaraan untuk mencapai tujuan. Dari sekian wahana, digunakan antara lain wahana industri dirgantara, industri maritim dan perkapalan, serta wahana industri strategis lainnya.

Di industri dirgantara, setelah melalui penahapan awal teknologi yang sudah ada (memakai lisensi), maka tahap integrasi teknologi, lahirlah N-235. Kemudian pada tahap pengembangan teknologi, lahirlah N-250. Di industri perkapalan, lahirlah cakara Jaya, Palwo Buwono. Demikian pula di beberapa industri strategis lainnya.

Produk-produk itu, akan membuka lapangan kerja yang juga berarti membantu meningkatkan kualitas SDM bangsa Indonesia yang produktif. Memperbesar penyerapan pasar domestik dengan menggunakan produk dalam negeri berarti memberikan kontribusi terhadap proses nilai tambah, kesejahteraan dan keunggulan bangsanya sendiri.

Kenyataan semacam ini sangat disadari oleh masyarakat Jepang, bahkan negara industri maju lainnya. Mereka sangat mencintai produk bangsanya sendiri dan sulit dipaksa untuk membeli produk luar negeri sehingga neraca perdagangan mereka dengan negara lain selalu positif.

Sangat relevan dengan strategi ini, khususnya pada tahap terakhir untuk melakukan penelitian dasar, lahirlah Pusat Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Serpong, sebagai sarana untuk melakukan penelitian dasar melalui berbagai jenis laboratorium yang dipercayakan kepada Lembaga Pemerintah Non-Departemen Dalam Lingkup Ristek.

Dengan berbagai laboratorium Iptek yang dimiliki, Puspitek diharapkan dapat melaksanakan berbagai riset lapangan (ground research) serta berperan sebagai sinergi bagi kegiatan riset dan pengembangan Iptek.

Dalam kebijakan makroriset dan teknologi, dibuat “Matriks Nasional Riset dan Teknologi”, untuk memusatkan perhatian masyarakat ilmiah dan masyarakat umum pada tujuan yang harus diemban oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan dikembangkan di Indonesia.

Untuk melengkapinya, dibentuk Dewan riset Nasional (DRN) yang merupakan wadah koordinasi non strukutural, yang mempersiapkan perumusan program ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Mentri Negara Riset dan Teknologi.

Disusul lahirnya Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang merupakan salah satu tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya masyarakat ilmiah di Indonesia bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mendapat perhatian sangat besar dalam rangka pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.

Pada 1993, untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka pada GBHN 1993 di masa kabinet Pembangunan, disepakati secara nasional, bahwa pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), selain sebagai bidang pembangunan tersendiri yang harus dimanfaatkan, dikembangkan, dan dikuasai, juga sebagai salah satu asas pembangunan.

Adakah gagasan dan strategi transformasi teknologi yang tel;ah dikembangkan oleh B.J. Habibie lebih satu dekade yang lalu telah bergesr dengan strategi pengembangan Iptek yang ideal di Indonesia sekarang ini? Khususnya dalam wacana yang sering muncul mengenai kebijakan Inovasi Teknologi untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi?

Telah disadari diperlukannya mitra segi tiga antara dunia usaha, pemerintah, dan perguruan tinggi untuk mempercepat difusi kemajuan teknologi serta kemampuan inovasi. Sebenarnya, hal ini sudah lama menjadi gagasan B. J. Habibie, seperti yang kita temui dalam buku ini. Bahkan, kemitraan ketiga komponan bangsa terssebut sudah dilaksanakan.

Puspitek misalnya sudah didirikan untuk melakukan riset lapangan, bersinergi dengan kegiatan pengembangan Iptek pihak swasta. Gagasan Link & Match adalah usaha untuk menciptaka sinergi antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan praktis dunia industri. Sementara industri strategis didirikan di kota yang memiliki perguruan tinggi yang unggul dengan industri yang dikembangkan.

Demikianlah IPTN bersinergi dengan ITB Bandung dalam teknologi dirgantara, PT PAL di Surabaya bersinergi dengan ITS Surabaya dalam bidang perkapalan dan kelautan. Institut Teknologi Indonesia (ITI) di Serpong bersinergi dengan pusat penelitian di Puspitek. Semua ini adalah upaya agar lembaga penelitian serta perguruan tinggi sebagai mitra usaha untuk mempercepat difusi kemajuan teknologi serta kemampuan inovasi.

Dalam bidang pembangunan wilayah, B.J. Habibie ditugaskan mengenai Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam (Opdib Batam), sejak 1978. Ketika diserahkan pemerintah untuk dikembangkan, Pulau Batam masih berupa daerah gersang dan berdebu tanpa sarana bangunan. Tidak ada investor yang ingin meliriknya.

Sembilan belas tahun kemudian, akhirnya pulau Batam menjelma menjadi kawasan industri seperti yang ditinggalkan B.J. Habibie pada 1997.

Setelah menyelesaikan tugas sebagai Presiden Republik Indonesia ke-3, karena tidak ingin dicalonkan untuk mengikuti pemilihan presiden berikutnya dan selama 17 bulan masa kerjanya yang menggulirkan reformasi, B.J. Habibie kembali menjadi warga negara biasa.

Ironisnya, semua tugas yang telah diembannya untuk negara dan hasil karya dalam bidang teknologi yang telah dirintis dan dipersembahkan kepada Tanah Air, seolah habis tersapu angin. IMF yang datang sebagai “penyelamat” Indonesia karena tertimpa krisis multidimensi pada 1998, melalui Letter of Intend, melarang dikucurkannya dana untuk industri dirgantara IPTN yang 100 persen milik negara.

IPTN yang sedang dalam proses program progrissive manufacturing plan antara lain dengan pesawat N-250 serta program lainnya terhenti. Konsekuensinya jumlah karyawan terlatih harus dirumahkan. IMF yang sarat dengan kepentingan Negara Industri Maju, turut campur dan masuk ke urusan mikro –ekonomi Indonesia.

Hal yang menarik lainnya dan jika kita jujur melihat kilas balik sejarah. Lebih dari dua dekade, perjuangan B.J. Habibie di Tanah Air memacu pengembangan teknologi, dengan strategi memberikan nilai tambah SDM Indonesia, peningkatan daya saing bangsa, kenyataannya saling menghadapi kendala, yaitu UU Industri Strategis.

Selama itu pula, kebijakan kabinet selalu tersegmentasi antara otoritas moneter dan teknolog. Program pengembangan teknologi seperti yang digagas oleh B.J. Habibie tidak berjalan mulus. Walaupun B.J. Habibie selalu “Berbas-basi” selalu ada yang berfungsi sebagai “gas” dan ada yang berfungsi sebagai “rem”.

Tetapi benarkah hal itu karena pertimbangan objektif atau hanya sekedar dogma efisiensi atau karena sumber keuangan negara “perlu memproritaskan yang lebih urgent?” Benarkah efisiensi harus di depan daripada usaha menjadikan bangsa ini memiliki daya saing?

Ketika putra-putri bangsa Indonesia berjuang memperoleh nilai tambah, bekerja dalam penguasaan teknologi tinggi untuk sederajat dengan bangsa lain, B.J. Habibie selalu dikritik karena dana yang diperlukan dianggap besar, khususnya investasi pada setiap proyek industri strategis. Tetapi hal itu ditangkalnya, dengan argumen bahwa dana tersebut diperlukan untuk investasi sumber daya manusia yang belum kita miliki.

Memang kita memerlukan sumber daya manusia yang tidak sedikit sebagai investasi, karena “membangun sebuah bangsa” memang tidak seperti mendirikan bank. Jika bank didirikan, hari berikutnya bank bisa langsung memberikan keuntungan.

Bagaimana dengan pengucuran dan kebocoran uang negara pada pihak perseorangan yang tidak berhak, bahkan berlipat ganda dari mata uang yang diperlukan untuk memberi nilai tambah dan daya saing pada anak-anak bangsa kita sendiri, mulai dari kasus Edy Tansil sampai Bank Century. Tetapi apakah ganjalan yang dialami B.J. Habibie untuk melaksanakan program pengembangan teknologi salama itu, memang karena pertimbangan objektif?

Atau, mungkinkah kendala yang selama ini dialami usaha pengembangan teknologi, hanya sikap pribadi dan konflik kepentingan oleh mereka yang berada di otoritas moneter? Tidak pernah ada yang terjawab.

Setelah melewati dekade demi dekade, momentum pun telah berlalu mengikuti perjalanan waktu yang linier. Momentum yang hilang tidak akan kembali lagi. Kiranya benar, kelemahan kita sebagai bangsa, karena elite bangsa sangat segmentaris. Terkotak-kotak dalam berbagai kepentingan. Karena itu, jangan bertanya, mengapa kita selalu ketinggalan dari bangsa lain.

Mengapa kita tidak pernah bangkit. Dua puluh tahun yang lalu, B.J. Habibie sudah menyampaikan bahwa bangsa ini perlu keterpaduan dan pikiran yang integral. Perlunya melahirkan karya dan inovasi baru untuk memperkuat daya saing bangsa, diperlukan konvergensi pandangan para insinyur dengan pandangan ekonom, para ahli hukum, para akuntan, ahli psikologi, dan seterusnya.

Semua harus dipadukan, baik swasta maupun pemerintah, baik yang terorganisasi maupun yang tidak informal, baik yang ilmuwan maupun yang bukan ilmuwan. Hanya dengan bekerja samalah kita bisa mengoptimalkan segenap kemampuan kita dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia serta kapabilitas nasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai faktor penentu menuju dimensi baru kehidupan bangsa Indonesia yang maju, mandiri, berkeadilan serta sejahtera lahir batin.

 Tetapi ajakan itu hanya menguap. Beberapa waktu lalu, barulah pemerintah membentuk Komisi Inovasi Nasional (KIN), tujuannya meningkatkan inovasi, kurang lebih sama dengan gagasan B.J. Habibie satu dekade lalu.

Tingkah laku

Pemikiran beliau sangat rasional dan tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain.  Senada dengan yang diungkapkan oleh Dr. Indria Samego (Dewan Direktur CIDES) yaitu: “ Visi misi dan strategi kepemimpinan Presiden B.J Habibie, terkait erat dengan latar belakang pribadinya.

Dia seorang yang sangat rasional di dalam menghadapi suatu persoalan. Menurut saya, banyak persoalan yang ia selesaikan lebih mengedepankan rasionalitas, kadangkala membuat orang terkaget-kaget dan tak mengerti.

Pada waktu Soeharto masih berkuasa B.J Habibie mengakui, Soeharto adalah guru besarnya. Ini ungkapan jujur menurut saya. Tetapi ungkapan itu tidak 100% ia praktikkan di dalam kebijaksanaan pemerintahannya sekarang. Kenapa? Karena faktor rasionalitas tadi”.

“Memperlihatkan Dirinya Berbeda” (Oleh: Dr. H.A. Baramuli SH)

“……..sehingga di kalangan teman-temannya, B.J Habibie dijuluki the wonder boy. Ini dibuktikan dengan sejumlah prestasi ilmiah yang dimilikinya, beberapa hasil penemuannya di gunakan di dalam teknologi pesawat terbang, kereta api dan banyak lainnya. Dan mari kita jujur mengatakan bahwa pengamat-pengamat luar negeri pun mengakui kehebatan si wonder boy. Makannya, tidak terlalu berlebihan kalau saya mengatakan bahwa bangsa Indonesia mesti bangga punya presiden yang jenius…..contohnya, ia banyak membuat kebijakan yang di zaman Soeharto, malah ditabukan. Semisalnya kebebasan pers, kebebasan mendirikan parpol, kebebasan berbeda pendapat dan banyak lainnya…”

Rendah hati dan berbakti pada ibu pertiwi (Oleh: Letjen TNI (Purn.) H. Achmad Tirtosudiro)

“Pada awal 70-an, dia diminta untuk jadi guru besar untuk menyandang jabatan profesornya di Universitas Aachen, almamaternya. Tetapi, anehnya Habibie menolak. Ini ganjil karena orang-orang Jerman akan sangat gembira dan merasa terhormat bila mendapat kesempatan menduduki kursi professor di Universitas terkemuka seperti Aachen. Apa sebabnya? Rupanya alasan penolakan Habibie adalah ia akan selalu terikat pada universitasnya, sehingga akan mempersulitnya untuk kembali ke Tanah Air bila saatnya tiba. Memang cita-citanya masih tetap ingin kembali ke Indonesia agar ilmu yang diperdalamnya selama ini dapat diamalkan di TanahAir”(1986).

Inilah sekelumit cerita mengenai Pak Habibie. Beliau menolak menjadi guru besar di Universitas terkemuka di Jerman, padahal begitu banyak orang Jerman sendiri yang mengidam-idamkan dinobatkan sebagai guru besar. Beliau memberi alasan yang membuat takjub dan salut kepadanya.

“Saya ingin mengamalkan ilmu saya di Indonesia, tanah airsaya”.Begitulah kiranya bahasa Pak Habibie.

Habibie menyebutkan presiden itu bukan segala-galanya. Walau jenius dengan memperoleh royalti atas delapan hak paten hasil temuannya sebagai ilmuwan konstruksi pesawat terbang seperti dari Airbus dan F-16, dia mengaku masih banyak yang jauh lebih baik dari dirinya.

Lama bermukim di lingkungan yang sangat menghargai ketokohan dan personality setiap orang, Habibie mendefinisikan jika ingin dihargai maka yang diperhatikan orang lain adalah sikap yang tak berubah terhadap lingkungan.

Menurutnya status, jabatan, dan prestasi bukan alasan untuk berubah terhadap lingkungan. Itulah sebabnya, ketika sudah menjadi RI-1 sikap Habibie terhadap lingkungan tetap tidak berubah. Malah semakin menampakkan watak aslinya, misalnya tidak mau diam dan bergerak sesuka hati padahal sudah ada aturan protokoler yang harus dipatuhi.