Scroll untuk baca artikel
Opini

Bocah Citayam versus Anak Jakarta Selatan

Redaksi
×

Bocah Citayam versus Anak Jakarta Selatan

Sebarkan artikel ini

SEHARIAN kemarin saya menggunakan kereta penglaju (commuterline). Sempat baca buku Lelaki-lelaki tanpa Perempuan karya Haruki Murakami. Setelah sampai pada bagian yang cabul, buku saya tutup.

Saya beralih ke gajet tengok berita trending. Saya lumayan kaget. Dari mulai media arus utama sampai media yang ikut-ikutan arus semuanya serempak memberitakan fenomena Bocah Citayam. Judulnya bombastis atau menurut istilah sekarang sangat klikbait.

Kira-kira judulnya ada yang menyebut Fashion Week ala Anak Citayam atau ada juga yang menyebut Anak Bocim (Bojong-Citayam) Kuasai Terowongan Kendal. Intinya, judulnya sangat heboh.

Lalu, ada apa dengan fenomen anak atau bocah Citayam dan sekitarnya ini? Kenapa tiba-tiba bocah tanggung dari sebuah udik di pinggiran Jakarta ini bisa menasional dan mendunia?

Citayam adalah sebuah desa kecil di Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor. Berbatasan langsung dengan Kota Depok. Warganya, termasuk para remajanya memiliki mobilitas tinggi karena terhubung dengan kereta penglaju Bogor-Jakarta.

Remaja Citayam yang berkeliaran dan nongkrong di sekitar Stasiun BNI City dan terowongan Kendal memang menyolok perhatian karena di sana tempat pertemuan orang dan juga penumpang dari kereta penglaju, kereta bandara dan mass rapid transit (MRT).

Pun, mereka ini tidak sembarangan nongkrong. Karena mereka juga mengenakan kostum atau outfit yang menyolok, modis, kekinian. Mirip harajuku kalau di Jepang. Namun, yang membedakan Bocah Citayam ini adalah keluguan khas udiknya sangat kentara sehingga sangat menarik dan juga sehat untuk bikin tersenyum atau tertawa.

Beda misalnya dengan anak Jakarta Selatan kiblat gaya mereka lebih ke korean style. Fashion mereka lebih modern, rapih, klimis dan wajah terawat. Bahasa mereka gado-gado, campuran Indonesia dan Inggris. Sebaliknya bahasa gaul Bocah Citayam bahasa Melayu dengan logat Betawi.

Anak-anak Citayam, Bojong Gede sampai Cilebut mayoritas adalah keturunan Betawi. Mungkin mereka generasi ketiga dari keluarga Betawi yang tersingkir karena proyek besar-besaran di sekitar Tanah Abang dan juga Mega Kuningan. Keluarga mereka tergusur dan membeli tanah serta lahan baru di daerah Citayam yang saat itu masih disebut tempat jin buang anak.

Sebelum heboh seperti sekarang, sebelumnya Citayam juga sempat menjadi perhatian nasional. Tragedi Citayam tak bisa dilupakan dalam sejarah buruk perkerataapian nasional.

Pagi itu pada akhir 1993 dua kereta api bertabrakan dan menewaskan 20 orang. Saking hebatnya tabrakan sejumlah gerbong sampai berdiri menjulang. Peristiwa ini dicatat PT Kereta Api Indonesia sebagai kecelakaan terburuk ketiga.

Tabrakan frontal kereta api di jalur tunggal Jakarta-Bogor yang saat itu masih menggunakan lokomotif diesel sangat tragis dan nyaris disandingkan dengan tragedi Bintaro pada 1987. Bagi yang percaya, konon di sekitar Ratujaya masih selalu ada yang mendengar sisa jejak kecelakaan seperti mahluk halus dan suara tangisan.

Catatan ini ingin menunjukkan bahwa Citayam pernah pada masanya menjadi pemberitaan media nasional dan bukan kali ini saja. Citayam sudah menjadi perhatian publik sejak 28 tahun silam.

Fenomena Bocah Citayam adalah peristiwa sosial dan budaya yang patut diapresiasi. Mereka tidak sekadar mejeng atau nongkrong karena mereka juga adalah para pembuat konten di media sosial. Mereka jangan dianggap sebagai penyakit sosial, pengganggu atau malah dilecehkan dan diledek karena tidak ‘sehebat’ anak Jakarta Selatan. Justru anak Jakarta Selatan yang harus digugat karena bahasa gaul mereka ‘merusak’ bahasa Indonesia.