Scroll untuk baca artikel
Blog

Bukan Banjir Darah Benar Memukau Kalbu

Redaksi
×

Bukan Banjir Darah Benar Memukau Kalbu

Sebarkan artikel ini
Mata Budaya (1)

Pejuang rakyat Myanmar, Aung San Suu Kyi tentu tidak mengira, bakal terjadi kudeta terhadap pemerintah syah. Walau kudeta itu dilakukan oleh militer, tapi tidak ada pertumpahan darah.

Masyarakat kita yang nir budaya, bisa jadi menghubungkan peristiwa kudeta dengan banjir di negeri ini. Terutama banjir yang terjadi di Kota Pekalongan. Betapa banjir itu berwarna darah. Maklum, kita kadung punya trauma peristiwa politik berdarah 1965. Satu trauma atas dialog seperti digambarkan dalam film “G 30 S – PKI” Arifin C Noer: darah ini berwarna merah, Jendral..!

Lalu dihubungkan juga dengan kudeta di Partai Demokrat. Seperti dinyatakan oleh pimpinan partai berlambang mercy, AHY: telah terjadi rencana kudeta oleh lima senior partai dan seorang purnawan jendral di luar partai. Entah apakah sikap politik AHY diilhami oleh kudeta di Myanmar atau, “bukan kudeta benar menusuk kalbu…”

Dunia politik tampaknya tengah dilanda trauma kudeta, sejak tembok Rusia runtuh, dan ideologi-ideologi besar dunia bunuh diri. Liberalisme, kapitalisme, komunisme, bunuh diri. Lalu para negara super power mau membangun ideologi baru, kapitalisme global. Di negeri ini “bunuh diri” itu berlangsung di tahun ’65.

Lalu bagaimana dengan “banjir darah” di Pekalongan yang jadi viral di media resmi atau media sosial.

Ternyata, genangan banjir berwarna merah itu, disebabkan tercemar biang batik. Ingat, Pekalongan dikenal sebagai kota batik, oleh industri batiknya yang telah meng-internasional.

Dari peristiwa atas kenyataan sosial-budaya ini tak aneh budayawan Pekalongan, Taufik Harja melihat fenomena yang terjadi di kotanya menyebutnya sebagai: KARYA SENI INSTALASI.

Begitulah memang dasar seni instalasi yang mewabah di dunia sejak 1980-an. Satu jenis kesenian baru berdasarkan ide atas peristiwa sosial budaya.

Pertanyaannya, apakah banjir berwarna merah di Pekalongan, yang bisa disebut karya seni instalasi, bisa juga menjadi penanda kehidupan politik?

Pertanyaan lanjut, apakah obat pewarna batik itu sengaja dibocorkan. Sehingga, genangan banjir yang melanda kota Pekalongan bagaikan satu isyarat atau judul seni instalasi “banjir darah”.

Kalau benar, maka si pembocorlah sang seniman instalasi itu.

Sungguh: bukan banjir darah benar memukau kalbu.***