BARISAN.CO – “Pada tahun 2015, Indonesia adalah negara nomor dua terbesar di dunia yang membuang sampah ke laut setelah China,” kata Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) atas kerja sama Koalisi Generasi Hijau, Jumat (7/5/2021).
Lantaran itulah, lanjut Novrizal Tahar, Presiden Jokowi lewat Perpres 83 tahun 2018 menekankan keharusan Indonesia mengurangi 70% sampah plastik di laut pada tahun 2025. Sejauh dua tahun perpres tersebut berjalan, sampah plastik yang masuk ke lautan telah mengalami penurunan sebanyak 15,3% dari tahun 2018 sampai dengan 2020.
Di samping soal sampah laut, Presiden Jokowi juga mencanangkan program ‘Indonesia Bersih Sampah’. Program tersebut menargetkan 100% sampah akan terkelola dengan baik dan benar pada tahun 2025. Rinciannya, terjadi pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah sebesar 70%.
Mengacu paparan Novrizal Tahar, pada 2019 tingkat pengurangan sampah Indonesia telah mencapai 14,58 persen dan penanganan sampah sebanyak 34,60 persen. Itu menjadikan kapasitas pengelolaan sampah nasional berada di tingkat 49,18 persen.
Angka itu mengalami kenaikan pada 2020 dengan tingkat pengurangan sampah Indonesia mencapai 16,23 persen dan kemampuan penanganan 37,92 persen menjadikan total kapasitas pengelolaannya adalah 54,15 persen.
Novrizal Tahar mengatakan, berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk mengelola sampah secara baik dan benar.
“Pemerintah telah melakukan berbagai pendekatan untuk mencapai angka kesetimbangan minimal. Pendekatan dari hulu sampai hilir sudah kami lakukan, mulai dari pendekatan produsen, peningkatan kapasitas pemerintah daerah, pendekatan teknologi, termasuk pendekatan perubahan perilaku masyarakat.” Kata Novrizal Tahar.
Namun demikian, harus diakui baik itu sampah di laut maupun sampah di darat, masih ada jarak yang cukup lebar untuk mencapai target-target yang ditetapkan pada 2025. Diperlukan upaya luar biasa untuk menangani permasalahan sampah.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah, Saut Marpaung, menjelaskan bahwa kebutuhan pengelolaan sampah Indonesia perlu dukungan berbagai aspek. Menurutnya, hal paling utama untuk diselesaikan adalah persoalan regulasi.
Regulasi tersebut mencakup di antaranya regulasi tata kelola, regulasi retribusi atau iuran para penghasil sampah, dan regulasi tipping fee.
“Setahu saya regulasi tipping fee sudah ada di pusat. Tapi harapannya regulasi ini juga ada di tingkat pemda. Sehingga, kalau ada investor atau asosiasi yang ingin bekerja sama dengan pemda, itu sudah ada legalitas hukumnya. Karena (soal tipping fee) KPK sempat bilang bahwa urusan persampahan ini terlalu ‘membebani’ dan bisa masuk ke ranah hukum … Regulasi harus bagus,” katanya.
Selain regulasi di atas, Saut Marpaung juga mengharapkan adanya regulasi Extended Stakeholders Responsibility (ESR), yang mengatur tanggung jawab industri atau swasta terhadap biaya-biaya lingkungan dalam proses produksi.
Dari sisi infastruktur, Saut Marpaung mengatakan perlunya transformasi besar-besaran untuk mengganti TPA sampah tipe open dumping menjadi tipe sanitary landfill. Menurutnya, TPA tipe open dumping yang banyak ada di Indonesia, sudah kelampau membebani tanah dan punya konsekuensi lebih besar untuk mencemari bumi.
Yang tak kalah penting dalam pengelolaan sampah, menurut Saut Marpaung, adalah mengubah paradigma masyarakat tentang sampah, baik itu lewat sosialisasi ataupun penegakan hukum.
“Penegakan hukum menjadi penting dan harus dilakukan setiap saat. Sama seperti halnya kalau kita berkendara di lalu lintas,” katanya.