BARISAN.CO – Menurut Didik J. Racbini evaluasi selama setahun pada bidang kehidupan beragama dan pengamalan Pancasila di Indonesia, di awal tahun 2021 dikejutkan oleh berita ketua BPIP yang menyatakan bahwa agama dapat menjadi musuh terbesar Pancasila.
“Dari statement Ketua BPIP tersebut, terkesan agama hendak dibenturkan dengan Pancasila,” terang Didik pada acara bertajuk “Catatan Akhir Tahun: Bidang Agama dan Pengamalan Pancasila” dalam Diskusi Forum Ekonomi Politik Didik J. Rachbini melalui platform Twitter Space, Rabu Malam (8/12/2021).
Didi menambahkan informasi dari hasil riset salah satu kampus UIN yang menyatakan bahwa kehidupan beragama di Indonesia termasuk tidak toleran.
“Dengan statemen ketua BPIP di atas dan hasil riset salah satu kampus UIN tersebut, umat Islam seperti menjadi tertuduh, hal itu tidak bisa diterima,” terangnya
Direktur Paramadina Graduate School of Islamic Studies (PGSI), Pipip A. Rifa’i Hasan menyoroti bahwa dalam ranah implementasi Pancasila sepanjang 2021, terdapat hal-hal yang agak melewati batas.
“Beberapa pernyataan blunder dari pejabat publik yang terkesan menyudutkan Islam yang potensial menjadi ancaman bagi Pancasila,” imbuhnya
Pipip mengungkap adanya kesan, terjadi pengulangan seperti zaman orde baru ketika ada lembaga BP7 dan P4 dalam praktik pengamalan Pancasila dan penyeragaman tafsir Pancasila orde baru yang ternyata gagal.
“Di era reformasi sekarang amat disayangkan kembali muncul gejala dominasi atau tafsir tunggal atas Pancasila oleh kekuasaan yang ada. Pancasila seolah-olah menjadi alat pemukul bagi kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap berseberangan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah,” terangnya.
Pipip menyarakan perlunya dibuat kesepakatan baru yang menyeluruh, dan pemerintah bisa merangkul dan menggabungkan semua pihak yang dianggap perlu.
“Perlu penyamaan persepsi dari semua pihak bahwa Pancasila adalah payung bersama bagi semua golongan masyarakat, dan bukan dengan monopoli tafsir atas Pancasila,” ujar Pipip
Gejala konservatisme agama
Sementara itu, Dosen PGSI Sunaryo mengungkapkan dalam Riset PPIM pada 2017 memang menyebutkan adanya gejala konservatisme agama.
“Dikaitkan fenomena keagamaan kaum milenial dalam hubungan dengan penggunaan media sosial yang menyuplai pandangan-pandangan keagamaan cenderung konservatif. Namun gejala konservatisme agama yang menguat juga terjadi di India dan banyak negara lain,” sambungnya.
Sunaryo juga menyatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir kita juga melihat adanya penguatan tindak represi negara terhadap masyarakat.
“Kebebasan berpendapat dan kritik kerap dikriminalkan. Ada banyak regulasi-regulasi yang cenderung mengatur kebebasan masyarakat. Pada dasarnya hal ini baik, namun sayangnya dalam kasus Indonesia. Regulasi digunakan untuk menekan orang atau kelompok yang dianggap ancaman bagi pemerintah,” Katanya.
Menurut Sunaryo konservatisme agama juga muncul karena berbagai hal diantaranya adanya gejala global politik identitas dan populisme kanan, ketimpangan sosial dan dominasi negara terhadap masyarakat.
Ia juga menyarankan perlunya langkah strategis yakni penyelesaian bersama tantangan keragaman dan keindonesiaan, formulasi negara secara pas yang menjamin hak-hak dasar warga negara. Keadilan dan pemerataan kesejahteraan, masyarakat secara bersama mengembangkan kehidupan yang menghargai perbedaan dan prinsip kesetaraan. Serta pasar harus dikelola secara adil dan negara harus memberikan pemihakan kepada kelompok lemah.
Lain lagi menurut Ketua Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, M. Subhi Ibrahim yang mengutip pandangan Romo Magniz yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia memiliki jiwa Ketuhanan yang direpresentasikan dalam agama.