Scroll untuk baca artikel
Blog

Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa

Redaksi
×

Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa

Sebarkan artikel ini

“… dan oleh karena demokrasi ini adalah demokrasi impor, bukan demokrasi yang cocok dengan jiwa kita sendiri, maka kita mengalami segenap ekses-ekses dari sekedar memakai barang impor. Mari kita kembali kepada jiwa kita sendiri.” (Soekarno, dalam Pidato berjudul Konsepsi Baru, 21 Februari 1957)

BEGITULAH pidato Soekarno, sebagaimana telah diungkapkan oleh (Alm) Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo,[1] ilmuwan hukum generasi pertama Republik Indonesia. Tampaknya pula, ekses pemakaian barang impor, termasuk “demokrasi suara terbanyak” yang dikritik Soekarno, secara nyata tampak mendekat dalam keseharian kita.

Kini, lebih satu dekade paska reformasi, kita dihadapkan fenomena bak kuda lepas dari kandang. Kebebasan mutlak individu, antara lain diwujudkan dalam bentuk demokrasi one man one vote, telah memberikan panggung kepada masing-masing individu untuk bertarung memenangkan “kontrak politik” sebagai sumber legitimasi kekuasaan dalam lima tahun ke depan.

Acap kali pula kita mendengar adagium vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Bila dicermati, kentara sekali adagium yang terkenal di lingkungan aktifis gerakan ini bersumber dari transformasi sosial di Eropa abad pertengahan, sejak era renaissance yang mengakhiri era kedaulatan Tuhan.

Sejak itu lahir gagasan-gagasan anthroposentrisme, kajian filosofis yang menempatkan manusia sebagai pusat kekuasaan. Sejak itu pula lahir gagasan-gagasan tentang “modern state” dengan berbagai variannya, termasuk praktek kenegaraan yang menempatkan demokrasi, yang setidaknya secara simbolik, diadopsi oleh hampir semua Negara.

Tradisi berpikir Barat memang bermula sejak zaman Renaissance. Sebelum itu, ungkap Jacob Burckhardt dalam karyanya berjudul “Civilization of the Renaissance in Italy” hingga Abad pertengahan, Man was conscious of himself only as a member of a race, people, party, family or corporation – only through some special category.[2] Maksudnya, manusia hanya memiliki makna bila menjadi bagian anggota dari suatu pengelompokan atau komunitas tertentu.

Namun sejak Renaissance pandangan itu berubah. Burckhardt menyebut, man became spiritual individual and recognized himself as such. John Lock, ilmuwan segenerasinya juga menyebut, secara alamiah, manusia itu ada dalam keadaaan kebebasan sempurna untuk menentukan tindakan mereka.[3] Dengan kata lain, di era Renaissance muncul pandangan hidup, manusia menemukan kembali kepribadiannya, menemukan kembali individualitasnya.

Karena manusia diciptakan sebagai makhluk otonom yang bebas, dan oleh karena itu pula , ungkap Jean Bodin, penemu Teori Kedaulatan, tiap-tiap individu manusia berkuasa penuh untuk menentukan jalan hidupnya. Konsekuensi dari teori ini, muncul istilah homo homini lupus, manusia menjadi srigala atas sesamanya.

Panggung kehidupan pun, karena masing-masing individu berdaulat atas dirinya, menjadi medan peperangan antara “semua melawan semua”. Oleh karena itu, Thomas Hobbes, penulis buku Leviathan, menyerukan kepada individu-individu membangun kesepakatan bersama untuk menyerahkan kedaulatannya kepada sesuatu yang dipersonifikasikan sebagai Negara.

Jelaslah, dalam filsafat individualism Barat ini, panggung kehidupan itu hakekatnya medan pertarungan antara semua melawan semua.[4] Supaya pertarungan berlangsung adil, maka masing-masing individu itu harus melepaskan kekuasaan yang dimiliki secara alamiah dan menyerahkan kepada seseorang atau sekelompok orang yang diberi wewenang melakukan tindakan-tindakan pengaturan itu.

Seberapa banyak kekuasaan itu diberikan? Thomas Hobbes menjawab semuanya. Maka terbentuklah kekuasaan mutlak. Namun John Lock menjawab hanya sebagian, karena ada kekuasaan yang melekat pada diri setiap manusia yang bila dilepaskannya maka kemanusiaannya akan hilang. Bagian kekuasaan yang tidak bisa dilepaskan itu lazim disebut hak azasi manusia (HAM).