Scroll untuk baca artikel
Blog

Jusuf Kalla: The Winner dan Ketidakadilan Politik

Redaksi
×

Jusuf Kalla: The Winner dan Ketidakadilan Politik

Sebarkan artikel ini

Setelah reformasi berlaku “the winner”, yang menang yang dapat mengambil posisi. Maka kemudian terjadi rasa ketidakadilan politik.

BARISAN.CO – Menurut Jusuf Kalla dalam Pancasila ada dua kata, adil dan beradab. Sila Kelima Keadilan Sosial mempunyai nuansa bahwa adil dan maju adalah satu bagian dari upaya bangsa ini.

“Keadilan sosial membutuhkan manajemen yang baik dalam  implementasinya agar tidak terjadi konflik dan masalah-masalah sosial lainnya,” terang Jusuf Kalla dalam diskusi Twitte Space Forum Ekonomi Politik Didik J Rachbini, Jumat (14/1/2022) malam.

Dewan Pembina Yayasan Wakaf Paramadina mengatakan 75 tahun usia kemerdekaan Indonesia telah dilewati dengan 15 konflik besar. 11 di antaranya berpangkal pada masalah ketidakadilan sosial, ekonomi, politik.

“Konflik Aceh terjadi bukan karena bagaimana syariat Islam karena hal itu telah lama dilaksanakan, tetapi oleh adanya rasa ketidakadilan ekonomi. Aceh kaya sumber daya alam (SDA) tapi masyarakatnya tidak merasakan kemakmuran dengan baik dan merata. Konflik Ambon terjadi karena ketidakadilan politik. Jika sebelum reformasi ada pembagian kekuasaan secara adil misalnya jika Gubernurnya Kristen maka Wakil Gubernur beragama Islam,” lanjutnya pada gelar Dies Natalis Universitas Paramadina ke-25 dengan tema Cak Nur, Pancasila dan Indonesia yang Adil.

Mantan Wakil Presiden ini menyampaikan setelah reformasi berlaku the winner, yang menang yang dapat mengambil posisi, maka kemudian terjadi rasa ketidakadilan politik. Juga konflik-konflik lain masa orde lama terkait rasa ketidakadilan.

“Untuk dapat dan mampu melaksanakan Keadilan maka Pemimpin dan SDM yang kompeten penting sekali digarap,” ujarnya

Melaksanakan keadilan menurut Jusuf Kalla membutuhkan SDM yang mumpuni agar dapat meningkatkan keadilan masing-masing.

“Keadilan juga harus saling menghormati, yang kaya membayar pajak dengan benar dan yang miskin bekerja sebaik-baiknya. Kerja sama dengan luar negeri untuk menyerap kemajuan teknologi juga penting dilaksanakan oleh SDM yang baik,” tegasnya.

Masalah moral

Ketua Yayasan Karakter Pancasila, Zaim Uchrowi mengatakan masalah besar bangsa saat ini adalah soal moral.

“Padahal jika kita cukup benar mengamalkan sila pertama Pancasila Ketuhanan yang Maha Esa, maka akan berujung pada integritas moral,” imbuhnya.

Menurut Zaim, Cak Nur amat menekankan aspek Ketuhanan sebagai integritas pribadi. Jika kita berhasil menghayati makna T (Tuhan) besar ketimbang tuhan-tuhan kecil di sekitar kita, maka integritas pribadi dan sebagai bangsa akan tegak kuat.

“Keliru mempertentangkan Pancasila dengan agama karena idiom pikiran itu hanya menunjukkan kepentingan politik jangka pendek ketimbang kebutuhan besar bangsa ini agar Pancasila menjadi motor penggerak bangsa untuk maju,” terangnya.

Zaim menambahkan untuk dapat berlaku adil, pesan Cak Nur harus dimulai dari diri sendiri. Bagaimana memulainya, maka kuncinya ada pada integritas.

“Bukan semata dalam ucapan tapi juga tindakan. Pangkal soal saat ini, Pancasila semata hanya dipandang dari sudut ideologi politik saja. Jika hanya ideologi politik, maka hal integritas tidak akan menjadi bagian ideologi politik,” lanjutnya.

Sementara, Dr Suratno mengatakan Pancasila sebagai Kalimatussawa atau payung bersama semua agama untuk mengisi Indonesia adil makmur (Cak Nur).

“Pancasila sebagai common platform secara konseptual adalah modal optimis bangsa karena alat pemersatu. Pancasila bisa menjadi common platform karena racikannya sangat pas dengan kondisi bangsa,” imbuhnya

Menurut Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina pembentukan Karakter bangsa tidak akan efektif jika tidak ada keteladanan.

“Di tingkat elite, amat dibutuhkan keteladanan dari penyelenggara negara. Orang Indonesia jika di luar negeri dapat berperilaku disiplin karena ada keteladanan dari masyarakat di sekitarnya. Sementara di dalam negeri amat susah karena minim keteladanan,” pungkasnya. (Luk)