Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Catatan BPK Atas Proyek Kereta Cepat (Bagian Dua)

Redaksi
×

Catatan BPK Atas Proyek Kereta Cepat (Bagian Dua)

Sebarkan artikel ini

DAMPAK dari tidak mampunya empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memenuhi setoran modal pada konsorsium proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) telah dibahas tulisan bagian pertama. Soalan berikutnya yang disoroti oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah Cost overrun proyek KCJB.

Cost overrun adalah adanya penambahan biaya yang signifikan dalam pelaksanaan suatu proyek di lapangan yang disebabkan oleh berbagai hal. Nilainya dalam kasus KCJB terbilang membengkak. Posisi tambahan biaya per November 2021 sebesar US$1,68 miliar (sekitar Rp24 triliun). Bertambah sebesar 27,68%, dari US$6,07 miliar menjadi US$7,75 miliar.  

Tambahan biaya itu ternyata belum bersifat final. Informasi dari pihak PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) baru-baru ini mengatakan potensi tambahan sekitar Rp2,3 triliun. Terutama terkait biaya pajak transaksi guna pengadaan lahan.

Angka cost overrun megaproyek ini bersifat dinamis atau terus berganti. Pertama kali, KCIC melalui konsultan menemukan nilainya sebesar US$2,65 miliar pada 2019. Nilainya turun menjadi US$1,98 miliar pada perhitungan akhir tahun 2020.

Biaya-biaya yang membengkak

Berdasar posisi per November 2021 yang disajikan oleh BPK, ada beberapa jenis biaya meningkat signifikan. Biaya berkategori komponen konstruksi atau Engineering-Procurement-Construction (EPC). Biayanya bertambah sebesar US$583,85 juta, dari US$4.701,18 juta menjadi US$5.285,03 juta.

Kenaikan biaya EPC sekitar 12,42 % tersebut disebabkan berbagai hal. Diantaranya: kenaikan harga; relokasi jalur utilitas, fasiiltas umum, dan fasilitas sosial; serta pekerja tambahan.

Kenaikan biaya pembebasan lahan (Land Acquitition and Compensation) mencapai US$262,22 juta, dari US$803,63 juta menjadi US$1.065,85 juta. Tambahan sebesar 32,63% itu kerena bertambahnya area lahan yang dibebaskan dan harganya.

Biaya keuangan juga tercatat bertambah US$239,14 juta, dari US$268 juta menjadi US$507,14 juta. Tambahan sebesar 89,23% itu terutama disebabkan keterlambatan proyek, sehingga beban keuangan interest during construction membengkak.

Kenaikan biaya terbesar secara persentase terjadi pada kelompok biaya kontinjensi (Contingency). Biayanya membengkak menjadi lebih dari lima kali lipat. Dari US$94,99 juta menjadi US$533,31 juta.

Biaya kontinjensi dikenal sebagai cadangan biaya atau perkiraan biaya untuk mengantisipasi kondisi ketidakpastian (uncertainty) yang dialokasikan pada item pekerjaan. Perhitungannya berdasarkan pengalaman dan pelaksanaan proyek–proyek sebelumnya dan merupakan biaya yang terintegral dari estimasi biaya proyek.

Selain itu, terjadi pula tambahan biaya kantor pusat dan pra operasi. Termasuk di dalamnya biaya gaji, biaya konsultan keuangan dan pajak, dan semacamnya. Beberapa kenaikan disebabkan oleh keterlambatan proyek.

Salah yang menarik adalah yang tidak dianggarkan sebelumnya, yaitu biaya Global System for Mobile Communication-Railway (GSM-R). Biaya GSM-R dengan Telkomsel untuk keperluan komunikasi kemudian tercatat sebesar US$10,73 juta.

APBN Tahun 2022 dan seterusnya berpotensi terbebani

Beberapa masalah baru timbul akibat cost overrun yang signifikan dan bahkan belum bersifat final tersebut. Salah satunya terkait perjanjian pinjaman PT KCIC dengan dengan China Development Bank (CDB). Kesepakatan pinjaman dikaitkan dengan modal dasar yang telah dibahas pada tulisan bagian satu, dan juga biaya keseluruhan proyek.

BPK mengatakan bahwa facility agreement terkait pinjaman itu belum mempertimbangkan adanya estimasi cost-overrun. Terdapat risiko jika CDB tidak bersedia menambah plafond utang PT KCIC yang diakibatkan adanya cost-overrun.