Membaca puisi-puisi dalam buku itu, momen perasaan ‘Colybritta’ muncul kembali, bahkan lebih lengkap dan luas. Saya merasa berenang dalam lautan puisi dunia.
Oleh: Eko Tunas
(Budayawan)
DI masa remaja SMP 1970-an saya begitu kesengsem dengan bunyi iklan sabun Colybritta. Kata-katanya pada saat itu begitu memukau, dan saya sempat mengulang eja bunyi kalimat itu hingga hapal. Sayang setelah limapuluhan tahun saya lupa kata-katanya. Saya hanya ingat momennya.
Hingga di SMA ayah saya yang pegawai perpustakaan pemerintah membawa buku puisi. Buku kumpulan puisi penyair dunia, berjudul Puisi Dunia terjemahan Taslim Ali. Saking suka saya menyembunyikan buku itu dari ayah saya. Saat ayah saya bertanya, apa kamu lihat buku bersampul biru, saya cukup menggeleng.
Membaca puisi-puisi dalam buku itu, momen perasaan ‘Colybritta’ muncul kembali, bahkan lebih lengkap dan luas. Saya merasa berenang dalam lautan puisi dunia. Satu puisi yang paling saya suka adalah karya Arthur Rimbaud. Satu lariknya saya ulang-ulang seperti mengeja iklan Colybritta: kudaku Zanggi bulan purnama.
Entah setan dari mana, saya seperti terbawa gelombang puisi itu. Ya, saya menulis satu puisi berjudul “Musim Panas di Jakarta”. Larik pertama puisi itu berbunyi: Musim panas di Jakarta, Camilo Camilo. Saat itu saya sendiri heran, siapa Camilo. Lebih heran lagi, saat itu saya belum pernah ke Jakarta, tapi mengapa saya bisa menulis tentang Jakarta.
Dari sini mulai muncul kesadaran saya, bahwa saya keturunan seniman. Di rumah Mbah saya, ada foto bersama orang-orang berpakaian Jawa, salahsatunya Mbah saya. Lalu ada keterangan foto: Paguyuban Wajang Orang Ngesti Moeljo. Saya hanya mendengar cerita bahwa Mbah saya, M Soegarbo, adalah pemain wayang wong.
Itu menurun ke bapak saya, Wuryanto, yang sutradara drama, pelukis dan seorang jurnalis. Perkumpulan seni bapak saya bernama Ikatan Seniman Muda “Tunas” Tegal. Tunas aktif saat saya SD, tapi saya cukup punya kenangan kejayaannya. Satu pentas dramanya yang paling mempalung dalam diri saya, “Tanda Silang”, bersama nama Tunas yang saya abadikan sebagai nama pena saya.
Saat SMA koran yang populer di sekolah saya adalah Buana Minggu (BM). Di situ acap dimuat tulisan guru bahasa Indonesia kami, Piek Ardijanto Soeprijadi. Dari itu saya tergerak mengirim puisi pertama saya, “Musim Panas di Jakarta” itu ke BM, dan dimuat.
SMA kami geger, siapa Eko Tunas dan puisinya yang tertanda Tegal. Pak Piek bertanya-tanya, tapi saya diam saja. Anehnya ayah saya tahu Eko Tunas itu Eko Haryanto anaknya, dan dia tampak bangga memberi tahu ‘rahasia’ itu ke Pak Piek. Akibatnya, saya mendapat tugas mengurus majalah dinding sekolah.
Ayah saya seperti tidak mau kalah, dia menunjukkan tulisannya yang pernah dimuat di koran atau majalah. Di situ saya baru tahu, ayah jebul penulis puisi dan cerpen. Ayah saya jadi pesaing saya, saya terus menulis puisi dan cerpen, dan dimuat di berbagai media cetak.
Lulus SMA, karena nilai menggambar 9, saya masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa (STSRI) “Asri” Yogya, jurusan Seni Lukis. Selama kuliah saya justru banyak bergaul di lingkungan sastrawan. Malah empat sekawan kami sempat dikenal sebagai 4-E: Emha Ainun Nadjib, Ebiet G Ade, EH Kartanegara, Eko Tunas.
Untuk masuk ke kawanan mereka, saya diuji Emha untuk acara Baca Puisi Penyair 3 Kota: Hamid Djabar (Padang), Linus Suryadi Ag (Yogya), Eko Tunas (Tegal) di Senisono, dan dihadiri Umar Kayam. Acara itu membuat saya makin terpacu menulis puisi. Di koran Yogya, Semarang, Surabaya, Jakarta.
Dari itu saya diundang dalam Temu Penyair Nusantara 1987, di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Di Teater Arena, saya membacakan puisi panjang saya — mungkin yang sekarang disebut puisi esai — berjudul “Sajak Lawan Kosong”.