“KENAPA anak-anak kerap tak melakukan apa yang kita perintah?” tanya Ellen Kristi, di sebuah diskusi pendidikan bersama Klub CMid Semarang, komunitas pegiat gagasan Charlotte Mason di Semarang.
Pertanyaan yang sebetulnya untuk mengingatkan kembali konsep Charlotte Mason, children are born persons. Bahwa anak-anak terlahir sebagai pribadi, yang punya selera dan cara sendiri. Bahwa anak bukan kita, apa yang kita pikir tak serta merta seperti yang anak pikirkan. Bahwa, sekali lagi, meski kita marahi, kita bentaki, tetap saja anak-anak itu bukan kita.
Namun demikian, children are will-less. Anak-anak masihlah anak-anak. Mereka tak berkemauan kuat. Lantas, bagaimana supaya berkemauan kuat? Jawabnya ada pada habit training. Orangtua harus bersedia untuk bersusah payah memberkati anak dengan kebiasaan-kebiasaan baik. “Melatihkan sermua kebiasaan baik itu satu per satu.” tandas Ellen.
Termasuk—bahkan terutama—habit of obedience. Karena, pertama, obedience itu natural. Sehingga tak perlu lagi mengancam, membentak, agar si anak menjalankan perintah, dan mengerti otoritas orangtua. Jika ritual marah-marah masih saja kita tegakkan di hadapan anak-anak, pertanda kita tak menaruh kepercayaan pada mereka. Kedua, necessary. Tidak bisa tidak, sebagaimana kita ketahui, orang-orang besar dalam kancah kehidupan itu terkoneksi dengan ketaatan pada hati nurani, hukum, dan petunjuk Ilahi. Dan yang ketiga, fundamental. Karena makin besar akan semakin sulit sekira dari dini tidak ada habit of obedience.
Kemudian, bagaimana menegakkan habit of obedience? Pertama, orangtua mesti kalem. Orangtua harus bisa menahan diri untuk tidak emosional. Kedua, tegas. Artinya tidak berubah-ubah prinsip. Kita harus bisa membedakan antara tawaran dan perintah. Yang namanya tawaran, boleh untuk ditaati, lantaran bukan prinsip. Sedangkan perintah harus ditaati. Ketiga, konsistensi. Ini menegaskan kembali bahwa orangtua benar-benar harus hati-hati memilah: tawaran atau perintah. Kalau memang diniatkan perintah, jangan ada tawaran. Maka, sebelum mengeluarkan perintah, dipikir terlebih dahulu. Kita pastikan prinsipnya, sehingga ketahuan: perintah atau sekadar tawaran.
Singkatnya, penting dicamkan: sebagai orangtua wajib mengetahui dan merumuskan prinsip. Mana prinsip, mana sampingan, mana yang biasa saja, dan yang sekadar alat bantu. Lantas tegakkan prinsip tersebut. Sama halnya, tatkala menghadapi anak yang argumentatif, pertama cermati bahwa si anak itu ingin berdiskusi atau melawan. Kedua, kalau memang ia tidak mengindahkan perintah orangtua, ya, jangan dijawab. Perintah harus dilaksanakan saat itu juga. Karena perintah berkenaan dengan prinsip.
Lagian begini, kalau kita melongok lebih jauh pokok keberhasilan pendidikan ala Charlotte itu memang tak semata wilayah kognitif. Bukan sekadar penguasaan pengetahuan empiris, melainkan pembenahan karakter seperti kalau dipanggil langsung datang, diperintah langsung menunaikan. Benar-benar tumbuh prinsip memperhatikan dan ketaatan yang tegak dalam diri anak.
Untuk ranah kognitif, Charlotte mengingatkan, “Engkau bisa menuntun kudamu ke air, tapi tak bisa memaksanya minum; Engkau bisa menyodorkan banyak buku ke anak, tapi yang mana yang akan ‘klik’ di benak anak, bukan lagi wewenangmu.”
Sebuah peneguhan bahwa kewajiban orangtua, selain menyiangi kebiasan-kebiasaan buruk anak, ialah menghadirkan buku-buku berkualitas sebanyak dan seberagam mungkin. Lantas kita jeli saat mana anak mulai tampak lelah dibacakan buku, saat kapan bersemangat menarasi, dan seterusnya.