Kemudian yang ketiga, demokrasi anjing. Pak Kunto melukiskan, ada seorang tua berkacamata, dan kerap batuk-batuk, menuntun dua ekor anjing berbulu tebal. Sang anjing berlari-lari kecil, kadang di depan, kadang di belakang, kadang di samping. Anjing-anjing itu kadang berhenti untuk mengendus sesuatu, kencing, bahkan saling membau waktu berjumpa dengan kawannya.
“Kalau sedang sakit, jangan jalan-jalan, Pak.”
“Bagaimana ta kamu ini,” jawab sang tua, “Apa mau dunia kiamat. Coba bayangkan, pagi-pagi aku harus membawa mereka keluar. Kalau tidak , mereka akan protes. Ribut seharian. Tidak doyan makan. Kencing di sofa. Buang hajat di lantai. Padahal, aku mau santai.”
Begitulah, betapa sang empunya anjing terpaksa menurut, seolah-olah anjing yang berada di atas angin. Anjing menjadi yang dipertuan. Anjing bisa sewenang-wenang mengatur sang tuan, yang mau menang sendiri.
Maka, demokrasi gajah, demokrasi kuda, dan demokrasi anjing, bukanlah pilihan. Lantas bagaimana? Kita bersyukur punya Pancasila, sehingga demokrasi yang kita dambakan bukan macam demokrasi gajah, kuda, ataupun anjing. Pancasila juga bukan liberal, yang mementingkan perorangan, pun bukan sosialis atau komunis yang berprinsip kolektivitas.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi “bukan”, bukan liberal, bukan komunis. Bukan asal jadi penurut, atau seolah menyatu rasa, apalagi sampai terjadi kesewenang-wenangan. Pancasila menghendaki adanya ketaatan vertikal (ketuhanan) sekaligus berorientasi kemanusiaan, penghargaan atas perbedaan, dan keadilan sosial, dengan jalan musyawarah.
Ya, demokrasi “bukan”!