MASIH soal demokrasi. Ada satire menarik dari Kuntowijoyo, yang termuat dalam fabel-fabel politiknya, Mengusir Matahari, terbit Oktober 1999, Pustaka Hidayah.
Bahwasanya, ada pandangan skeptis dari generasi muda saat itu bahwa demokrasi sebatas pidato-pidato, ramai-ramai, bagi-bagi kaus, dan potong knalpot. Dan, Kuntowijoyo menolak pandangan tersebut. Menurutnya, yang begitu itu, yang serba arak-arakan, yang gemar melanggar lalu lintas karena mumpung pawai politik, hingga jotos-jotosan, bukanlah demokrasi, melainkan anarki.
Realitas demokrasi saat itu ada tiga, yaitu demokrasi gajah, demokrasi kuda, dan demokrasi anjing. Pertama adalah demokrasi gajah. “Perhatikan gajah dan pawangnya,” kata ayah, dalam fabel politik yang ditulis Pak Kunto, untuk menjelaskan soal demokrasi gajah.
“Ada tiga ekor gajah. Pawang membawa cemeti di tangan kanan dan roti biskuit di saku. Dialah yang memberi perintah dan hadiah. Ketika cemeti berbunyi sekali gajah-gajah berdiri dengan dua kaki, menghormat penonton. Cemeti berbunyi dua kali, mereka duduk di kursi besi yang tersedia. Cemeti tiga kali, mereka antre, belalai dibelitkan ke ekor di depannya.
Setiap kali selesai satu gerakan, pawang memasukkan biskuit ke mulut-mulut gajah. Pawang membunyikan cemetinya sekali, gajah-gajah berdiri. Pawang membuka topi lalu membungkuk. Pertunjukan selesai dan dengan patuh gajah-gajah mengikuti pawang masuk.”
Dari satire itu ada dua hal. Pertama, sudah ada target yag ditentukan oleh sang pawang. Kedua, si pawang selalu memberi hadiah. Jelas, bahwa demokrasi yang sudah ditentukan targetnya, berarti demokrasi tertutup, dan hanya terjadi di masyarakat yang tertutup. Hadiah di situ adalah upah, yang diberikan atas kepatuhan masyarakat menjalankan perintah atasan.
Terus yang kedua, demokrasi kuda. “Penunggang harus menyatu rasa dengan kudanya.” ungkap Kuntowijoyo. “Mereka harus menjadi satu tim, seolah-olah mereka adalah tubuh yang satu. Kehendak mereka harus disatukan. Kalau harus meloncati rintangan kayu, penunggang dan kudanya harus tahu persis kecepatan yang diperlukan, dari mana mereka mengambil start, dan kapan meloncat. Hal yang sama berlaku waktu mereka harus meloncat karena tanah berlubang atau batu bersusun. Jadi, kuncinya ialah menyatu rasa, loro-loroning atunggal, terdiri dari dua tapi sebenarnya mereka satu.”
Prof. Dr. Kuntowijoyo menggambarkan bahwa mengatur orang itu tak ubahnya seperti mengendalikan kuda. Harus menyatu rasa dengan kuda, sekira kuda ingin merumput, kita mesti paham. Mesti bersatu. Walau demikian, toh hakikatnya tetap saja, bahwa yang menentukan arah tetap si penunggang kuda. Bahwa kuda tetap menjadi kuda tunggangan, tidak bebas seperti kuda liar.
Kemudian yang ketiga, demokrasi anjing. Pak Kunto melukiskan, ada seorang tua berkacamata, dan kerap batuk-batuk, menuntun dua ekor anjing berbulu tebal. Sang anjing berlari-lari kecil, kadang di depan, kadang di belakang, kadang di samping. Anjing-anjing itu kadang berhenti untuk mengendus sesuatu, kencing, bahkan saling membau waktu berjumpa dengan kawannya.
“Kalau sedang sakit, jangan jalan-jalan, Pak.”
“Bagaimana ta kamu ini,” jawab sang tua, “Apa mau dunia kiamat. Coba bayangkan, pagi-pagi aku harus membawa mereka keluar. Kalau tidak , mereka akan protes. Ribut seharian. Tidak doyan makan. Kencing di sofa. Buang hajat di lantai. Padahal, aku mau santai.”
Begitulah, betapa sang empunya anjing terpaksa menurut, seolah-olah anjing yang berada di atas angin. Anjing menjadi yang dipertuan. Anjing bisa sewenang-wenang mengatur sang tuan, yang mau menang sendiri.