Scroll untuk baca artikel
Blog

Destruksi Sekolah

Redaksi
×

Destruksi Sekolah

Sebarkan artikel ini

MERUJUK pada pandangan Ki Hajar Dewantoro, sekolah itu ibarat taman. Suatu tempat indah, nyaman dan menyenangkan, serta membuat orang betah di didalamnya. Belajar itu seperti anak bermain di taman.

Dalam suasana riang dan bahagia, siswa mengembangkan diri sesuai potensi dirinya. Siswa berekspresi penuh kebebasan dan suka cita tanpa ada paksaan atau tekanan. Posisi guru hanya menuntun (among). Yakni membimbing siswa agar tumbuh dan mekar potensi kemanusiaanya. Sekolah adalah tempat siswa ‘menjadi’ manusia.

Pertanyaannya, apakah pendidikan kita saat ini sudah seperti diimpikan oleh Bapak Pendidikan kita, bahagia, merdeka dan berkembang potensi diri?

Selama ini banyak kritik yang dialamatkan ke sekolah tentang beratnya beban sekolah. Bukan hanya berat materi pelajaran, melainkan juga beban buku ajar yang harus dibawa ke sekolah.

Dunia pendidikan kita juga cukup ambisius. Banyak aspek kehidupan dimasukkan dalam kurikulum. Kemudian dikonversi ke dalam matapelajaran yang harus dikuasai siswa.

Banyaknya matapelajaran dan padatnya waktu yang dibutuhkan serta tingkat kesulitan materi membuat ruang gerak siswa menjadi sempit dan terbatas. Belum lagi tugas sekolah yang harus diselesaikan, baik disekolah maupun di rumah. Hal ini membuat beban yang ditanggung siswa cukup berat.

Selain itu pendekatan dalam pembelajaran juga bertumpu pada guru yang umumnya dikejar target materi yang harus dicapai. Kondisi ini membuat kepahaman siswa tidak menjadi sesuatu yang prioritas. Siswa akhirnya ‘tak selesai’ di sekolah. Beban itu kemudian di bawa ke rumah dalam bentuk bermacam tugas.

Apakah siswa kita menikmati sekolah semacam ini?

Secara teoritik sulit. Mungkin ada satu dua sekolah yang mampu mengatasi beratnya beban sekolah. Secara umum siswa sekolah sulit mengindar dari beratnya beban pelajaran yang membuat sekolah tak nyaman untuk belajar.

Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, (untuk usia Sekolah Dasar) Masa ini cenderung untuk bermain. Menghabiskan waktu sekolah untuk belajar, apalagi dengan pendekatan formal dan klasikal, adalah melawan kodrat anak.

Kedua, meratakan seluruh siswa dengan pelajaran pengetahuan (kognitif) yang begitu padat itu mengingkari keragaman. Siswa yang tidak cenderung pada minat & kemampuan kognitif akan keberatan. Itu seperti kuda yang punya kemampuan berlari kencang tapi disuruh memanjat. Pasti kuda akan terlihat bodoh dan tersiksa. Pun gurunya.

Ketiga. Tingkat kesulitan materi, khususnya di sekolah dasar makin hari makin meningkat. Siswa menerima beban sekolah bukan hanya soal padat pelajaran tapi juga tingkat kesulitan materi. Hari ini tak mudah lagi orang tua mendampingi anak anaknya untuk belajar meski hanya pelajaran sekolah dasar.

Jika akhirnya sekolah adalah beban. Bisa dibayangkan betapa siswa kita selama ini menghadapi tekanan yang begitu besar. Sekolah bagai belenggu. Itu dirasakan siswa kita sepanjang hari, bulan dan tahun. Kenyamanan dan ruang bermain anak dirampas oleh sekolah. Potensi beragam anak sulit tumbuh diusia paling potensial gegara waktu dan kesempatannya banyak terbuang untuk urusan sekolah.

Pada akhirnya sekolah tidak ramah terhadap bakat dan potensi siswa. Beragam kemampuan siswa seharusnya tumbuh dan mekar harus terlewatkan di masa yang sangat menentukan. Itu artinya sekolah destruksi terhadap perkembangan jiwa manusia.

Mungkin inilah potret buruk sekolah hari ini. Belenggu siswa yang sudah bertahun-tahun itu akhirnya secara implisit dan eksplisit diakui dengan hadirnya kurikulum Merdeka Belajar. Penamaan kurikulum merdeka itu seolah mengatakan bahwa selama ini dunia pendidikan kita tak merdeka. Dan memang begitu faktanya. [rif]