Scroll untuk baca artikel
Blog

Mutiara yang Hilang Di Sekolah

Redaksi
×

Mutiara yang Hilang Di Sekolah

Sebarkan artikel ini

SETIAP anak secara natural adalah pembelajar. Bentuk pembelajar itu berupa  rasa ingin tahu yang besar dan hasrat mencoba (mempelajari).  Itu dilakukan pada seluruh aktifitas anak.

Kecenderungan  anak memperhatikan apa yang menarik perhatiannya. Kemudian meraih dan mengambil benda-benda disekitarnya. Anak juga mencoba belajar merangkak, berjalan, memanjat dll.

Setelah mampu bicara. Anak bertanya tentang banyak hal. Semua yang menarik perhatiannya dipertanyakan. 

Imajinasi anak juga bergerak liar. Ia melakukan sesuatu mengikuti dahaga keingintahuannya. Imajinasi anak menutun untuk melakukan sesuatu  tak kenal lelah.  Itu semua dilakukan anak adalah sebagai proses belajar.

Konsepsi dasar anak terbangun berdasarkan seluruh pengalamannya. Selain itu persepsi-persepsi anak juga terbentuk berdasar jawaban–jawaban yang diberikan oleh orang dewasa atau orang-orang disekelilingnya. Benar salah jawaban atau penjelasan pada anak akan terekam dan membekas. Hal ini yang sering kurang disadari orang tua.

Konon, jiwa pembelajar anak berjalan seiring dengan perkembangan sel otak yang tumbuh secara cepat pada usia dini.  Kecerdasan anak paling potensial tumbuh dan mekar pada masa ini dan akan berkurang beriring dengan bertambahnya usia. 

Jika pada usia yang masih lentur ini diberi ‘perlakuan’ yang tepat, maka petensi kecerdasan anak berkembang secara pesat. Orang-orang hebat diberbagai bidang (musik, olah raga, ketrampilan, ilmu pengetahuan dll) biasanya terasah sejak masa anak.

Salah satu ciri anak adalah bermain. Dalam bermain, anak senang  dan sering tak kenal lelah. Namun bagi anak, bermain bukan sekedar aktifitas yang membuat senang. Dalam bermain itulah proses belajar anak terjadi. Seluruh kegiatan bermain adalah pengalaman yang membentuk persepsi, pengetahuan dan sikap mental anak. Bagi anak, bermain dan belajar sesungguhnya berimpit.

Petaka besar pada jiwa pembelajar anak terjadi justru pada saat masuk sekolah. Kehidupan bermain anak yang menyenangkan tiba-tiba di’rampas’ oleh sekolah. Ruang gerak anak yang bebas, dibatasi dalam kelas. Anak harus duduk manis dalam ruangan tertutul dan mendengar seharian layaknya orang dewasa. 

Tak sampai disitu. Anak yang sesungguhnya punya potensi dan pengalaman, tiba-tiba diperlakukan seperti botol kosong yang harus diisi. Sekolah memasukkan banyak ‘materi’ pada kepala siswa sesuatu yang tak selalu menyenangkan dan dibutuhkan. Keberadaan sekolah justeru telah memasung dan memadamkan kreativitas serta hasrat ingin tahu.

Itu mengapa sekolah tak lagi menyenangkan. Sekolah bukan lagi taman belajar siswa, kata Ki Hajar Dewantoro. Sekolah seperti Penjara, kata Ivan Illich

Jika setidaknya kurun waktu 20 tahun terakhir mutu pendidikan Indonesia salah satu terburuk di dunia versi PISA (Programm For International Student Assesment), untuk katagori Literasi, Matematika dan Sain. Capaian itu sangat bisa dipahami. Salah satu penyebabnya adalah  hilang atau  padamnya elan pembelajar justru  ketika berada di sekolah.

Tanpa jiwa pembelajar, buku tak berarti. Perpustakaan tak menarik. Dan belajar itu beban dan membosankan. Itulah potret sekolah kita. [rif]