NOVEL futuristik dilatari Perang Dunia ketiga, dengan setting Indonesia di masa kekuasaan Presiden kesepuluh. Satu kelompok tersisa berusaha mencari sebab bencana politik internasional terbesar.
Dhanurveda, novel Zahid Paningrome. Satu lagi penulis karya fenomenal dari Semarang. Setelah “Kiat Sukses Hancur Lebur” novel Martin Suryajaya, sastrawan asal Semarang yang mekar di Jakarta.
Pasca perang dunia ketiga, bumi mengalami kerusakan hebat. Benua-benua terpisah tak berbentuk. Serangan nuklir dari lima negara membabi buta seluruh penjuru bumi, pulau-pulau terpisah tak berbentuk. Lautan naik drastis.
Membelotnya beberapa negara untuk tidak menandatangani perjanjian HomeEnd menjadi alasan serangan sekutu. Mereka yang selamat membagi diri dalam satuan kelompok, bersembunyi di hutan dan goa.
Satu kelompok yang menamai dirinya Dhanurveda mencoba mencari tahu penyebab pecahnya perang dunia ketiga. Beberapa dari mereka mempunyai kemampuan unik dan tidak terduga.
Keanehan mulai muncul, kelompok masif yang menamai dirinya Skyline21 mengirimkan pesan berantai pada Dhanurveda untuk tidak bergerak mencari tahu. Banyak pertanyaan muncul yang menunggu untuk dijawab.
Kelompok dipimpin seorang gadis muda itu justru harus berhadapan dengan tentara multi. Kekuatan militer dari negara-negara superpower yang mau menguasai jagad.
Tentu cerita mencekam romantic tragic-comico berbahasa pop science ini disedapkan kisah cinta khas penulis muda. Kesegaran bahasanya menunjukkan usia penulisnya. Lalu kelincahan alur ceritanya seperti menari. Pembaca seperti ikut bergerak saat membaca halaman demi halaman.
Atau dengan tangkapan lain, novel ini beralur films. Pembaca seperti dihadapkan pada bahasa gambar. Serupa bahasa film yang tersajikan dalam adegan-adegan penceritaan. Maklumlah, Zahid adalah penggemar film Barat maupun dari negeri dewek.
Bahkan dalam blognya dia aktif menulis review film. Tak terbayang, di Indonesia ada film bergenre futurisme. Atau bersifat futuristik, justru dalam imajinasi ke masa depan bagi kaum muda. Satu pembebasan berkarya anakmuda, dalam menuangkan ide kreatifnya.
Dalam komentarnya, Purwono Nugroho Adhi, kritikus sastra Semarang menggunakan istilah dystopia untuk novel ini. Satu penamaan yang lebih menukik atas kecenderungan sifat kreativitasnya. Futuristik lebih pada genre novel karya Zahid.
Purwono menulis: angkat topi untuk ini. Kita lama merindukan dystopia novel untuk Semarang. Kajian dystopia jarang diolah dalam semaraknya demam cerpen dan tulis menulis kita. Semoga novel ini memberi warna (dalam khasanah sastra kita, Pen).
Terlebih ini novel pertama karya anak muda. Zahid Paningrome (19) kelahiran Semarang 19 Juli 1997, mulai aktif menulis sejak SMP. Zahid menulis cerpen, puisi, cerbung, dan review film di blog pribadinya ~ zahidpaningrom.blogspot.com.
Terutama Zahid sendiri menulis dengan pilihan pembaca kaum muda. Ialah untuk menumbuhkan minat baca kaum muda yang sudah mulai pudar. Lanjut, akunya, menulis baginya adalah cara dia menyampaikan pesan dan berkomunikasi dengan Tuhan.