SIKAP pemerintahan Soeharto terhadap utang luar negeri sejak awal tampak berbeda dengan sikap Soekarno-Hatta. Utang luar negeri dan modal asing memang dipersilakan masuk. Bahkan, segala upaya penyambutan dan penghormatan telah dipersiapkan sebaik-baiknya.
Undang-undang pertama yang ditandatangani Soeharto adalah UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Beberapa bulan sebelumnya, International Monetary Fund (IMF) dimintai tolong membuat studi tentang program stabilitas ekonomi disertai rekomendasi kebijakan ekonomi apa yang harus dilakukan. Ternyata, rekomendasi utamanya antara lain berupa Indonesia harus segera berutang yang banyak.
Narasinya cukup sederhana. Indonesia merupakan negara miskin, bahkan sedang amat miskin kala itu. Karena sedemikian miskin, maka tidak mungkin memiliki tabungan nasional yang mencukupi. Sedangkan untuk kebutuhan konsumsi saja sudah pas-pasan. Bagaimana mungkin bisa berinvestasi secara besar-besaran untuk meningkatkan kapasitas produksi nasional. Satu-satunya jalan yang tersedia adalah meminta bantuan kepada pihak asing.
Disampaikan Indonesia akan tetap menjadi miskin, jika tidak mau berutang dan menerima investasi pihak asing. Bahkan sudah kesulitan untuk membiayai impor pangan dan kebutuhan pokok utama yang dibutuhkan oleh rakyat banyak, karena tidak memiliki devisa yang cukup.
Narasi ditambahi dengan evaluasi atas kebijakan era sebelumnya. Dinilai keliru kebijakan tertutup atas penanaman modal asing, serta kurang mau berutang yang banyak. Akibatnya, usaha perbaikan infrastruktur produksi yang rusak karena perang kemerdekaan, tidak dapat berjalan secara baik.
Diberi utang bersyarat lunak
Sebagai permulaan yang menarik, banyak negara Barat memberi hibah untuk pemulihan ekonomi. Nilainya mencapai 174 juta dollar.
Utang lama direstrukturisasi, dihitung ulang dan sebagian besar utang bunganya dihapus sebagai keringanan. Komitmen adanya utang baru langsung diberikan dalam nilai yang cukup besar, lebih dari setengah miliar dolar. Pencairannya pun berlangsung secara cepat. Sudah ada yang diterima pada tahun 1967.
Semua utang baru itu tampak sebagai pinjaman bersyarat lunak. Ada jenis pinjaman yang biasa disebut bantuan program, yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan. Bantuan program ini berbentuk devisa tunai atau hak untuk memperoleh sejumlah komoditi yang ditentukan.
Jenis tersebut relatif bebas dipakai oleh pemerintah Indonesia. Terasa sangat membantu dalam kondisi sedang kesulitan pangan dan barang pokok kehidupan sehari-hari rakyat. Padahal, produksi dalam negeri belum mencukupi karena perbaikan kapasitas produksi pada era sebelumnya berjalan lambat. Dana dari utang itu mampu menyediakan devisa untuk membiayai impor.
Ada pula yang disebut bantuan proyek, yang pada dasarnya adalah utang bagi pembagunan proyek tertentu dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak. Sebenarnya tidak selunak kelihatannya. Jenis utang ini kebanyakan bukan berupa “cash” yang bebas dipakai. Melainkan berupa barang modal, bantuan teknis, “voucher belanja” dan semacamnya. Bunganya tampak ringan, tetapi beli barangnya mesti dari negara pemberi utang. Bahkan, harus menjalankan proyek seperti yang mereka inginkan, termasuk membayar tenaga ahli dari mereka.
Para pemberi utang awalnya hanya terdiri dari beberapa negara dan lembaga keuangan iternasional. Para kreditur itu berkoordinasi dalam lembaga Bernama Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Anggotanya antara lain terdiri dari Australia, Belgia, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia.