Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Dongeng Utang Indonesia (Bagian Tujuh)

Redaksi
×

Dongeng Utang Indonesia (Bagian Tujuh)

Sebarkan artikel ini

Dianggap ada kebutuhan masyarakat yang mendesak dan tidak dapat ditunda, namun Pendapatan Negara belum cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan tersebut. Aibetnya menimbulkan defisit anggaran yang harus ditutupi melalui utang. Utang tersebut diklaim aman karena digunakan untuk belanja produktif.

Penjelasan tentang utang bersifat produktif dalam konteks ini sebenarnya dilakukan oleh semua era pemerintahan, bahkan sejak era Soeharto. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) nyaris selalu defisit di era Soeharto, dan selalu defisit di era reformasi. Belanja yang lebih besar dibanding pendapatan biasanya dijelaskan sebagai sesuatu yang tak dapat dihindari dan bahkan diperlukan.  

Dengan demikian diperlukan bukti tentang tingkat produktifitasnya. Salah satu bukti adalah rasio utang atas PDB yang harusnya menurun. Jika menurun artinya nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan perekonomian lebih tinggi dari kenaikan posisi utang.

Andai dibantah dengan perlu waktu agar PDB yang bisa dibaca pula sebagai pendapatan nasional untuk tumbuh pesat, maka dalam kurun waktu beberapa tahun mestinya sudah mulai terbukti.

Bukti yang bersifat lebih langsung tentang tingkat produktifitas utang adalah rasio atas pendapatan negara. Jika produktif, maka rasionya pun menurun. Laju kenaikan pendapatan lebih cepat dari utang. Faktanya, rasionya melonjak dari 168% (2014) menjadi 244% (2019). 

Beberapa penjelasan diberikan dengan mengemukakan hasil-hasil pembangunan yang bersifat fisik, sesuai argumen tentang prioritas pada infrastruktur dan konektivitas di atas. Namun, penjelasan yang disertai angka-angka presisi tentang proyek-proyek tersebut sulit diperoleh. Seharusnya ada analisis yang bisa diketahui publik tentang berapa nilainya dan berapa tambahan utang yang terjadi.

Tentu harus dipastikan pula seberapa nilai yang terkait langsung dengan APBN. Misalnya, dicermati tentang besaran belanja modal. Begitu pula dampaknya terhadap peningkatan nilai aset negara. Karena sebagian proyek tidak sepenuhnya menjadi aset negara.

Sederhananya, argumen produktif dari aspek ini mesti dibuktikan dengan peningkatan nilai aset negara. Dengan catatan, soal kenaikan nilai yang hanya karena revaluasi aset dipertimbangkan.

Sebaiknya ditelusuri pula soal outcome dan impact dari proyek-proyek dimaksud. Apa yang dikenal sebagai output adalah berupa fisik dan nilai biaya pembagunannya. Tidak otomatis mencerminkan manfaat langsung dalam jangka pendek (outcome) serta jangka menengah dan panjang (impact).     

Ada narasi tambahan yang mengedepan mulai tahun 2018, yaitu rasio utang masih jauh dibawah 60% dari PDB. Besaran itu dianggap sebagai batas aman menurut undang-undang tentang keuangan negara. Padahal dalam UU No.17/2003 tersebut, baik pasal maupun penjelasannya, tidak menyebut soal batas aman.

Besaran rasio tersebut hanya merupakan batas yang tak boleh dilewati. Berdasar pengalaman krisis tahun 1997/1998, rasio di atas 60% dialami setelah terjadinya krisis. Rasionya baru sebesar 24,22% pada akhir tahun 1996 dan bahkan masih sebesar 37,92% pada akhir tahun 1997. Melesat menjadi 61,74% pada akhir tahun 1998. [rif]