Scroll untuk baca artikel
Opini

Dromologi dan Media Sosial

Redaksi
×

Dromologi dan Media Sosial

Sebarkan artikel ini

Paul Virilio (1932-2018), seorang filsuf kelahiran Paris, suatu kali menjelaskan sebuah gejala dunia yang ia sebut dalam istilah ‘dromologi’. Gejala yang dimaksud Virilio adalah gejala instan. Jadi gampang-gampanganya, dromologi adalah tentang segalanya yang instan-instan.

Menurut teori Virilio, dromologi adalah tuntutan kecepatan atau segala sesuatu yang menawarkan nilai yang sifatnya seketika. Gejala ini tentu saja penting didedah. Apalagi itu sesuai dengan kecenderungan yang terjadi pada hari-hari sekarang.

Virilio melihat ada yang salah dari gejala serba cepat itu. Ia misalnya pernah mengatakan, “How can we live is there is no more here and everything is now”.

Ungkapan itu memang terdengar berbelit-belit dan lumayan alot dicerna apa maksudnya. Tapi kita tetap bisa menebak-nebak kegelisahaan Virilio. Mungkin baginya, ketika segalanya bergerak terlalu cepat, ruang dan waktu rasa-rasanya tidak lagi bisa dinikmati.

Selain ruang dan waktu, kemungkinkan besar Virilio juga bermasalah dengan konsep jarak yang semakin non-distingtif. Hari ini, tidak ada lagi jarak yang mengikat seseorang. Dunia seakan tak punya lagi hambatan bagi manusia untuk saling terhubung ‘sekarang’ dan ‘di sini’, atau absolute presentness kalau meminjam bahasa sosiolog Karl Mannheim.

Tentu media sosial menjadi subjek penting dalam pembahasan dromologi. Mengingat, media sosial tidak terpaut ruang dan waktu, juga media sosial ini sifatnya cepat terpublikasi. Ketika seseorang mengunggah konten pada akun media sosialnya, maka secara realtime saat itu juga seluruh belahan dunia mampu mengaksesnya.

Pada tahun 2021 separuh lebih penduduk bumi—atau setara dengan 4,2 miliar manusia—telah mempunyai media sosial. Dan ada sejumlah 5,22 miliar manusia yang memiliki gawai. Mengacu dengan populasi manusia saat ini yaitu sekitar 7,8 miliar orang, itu menunjukkan 66% manusia memiliki ponsel dan 54% dari total populasi umat manusia terhubung di media sosial.

Apa artinya itu semua? Artinya, ada lebih dari separuh penduduk bumi yang hidupnya serba grusa-grusu.

Inilah barangkali mengapa kita perlu untuk memahami dromologi lebih jauh. Lebih-lebih, selalu ada konsekuensi atas pilihan cara manusia membangun peradabannya. Dengan begitu maka kehidupan grusa-grusu jelas membawa akibat yang perlu diantisipasi.

Akibat Dromologi: Piknolepsi

Dalam kaitannya dengan perkembangan peradaban manusia, tentu fenomena dromologi tidak terjadi begitu saja. Virilio membagi dromologi ke dalam 3 tahapan. Pertama, di awal modernisme, ketika ada semacam perlombaan mencipta alat-alat inovatif. Kedua, di akhir modernisme, di mana manusia telah berubah kultur menjadi manusia yang konsumtif. Ketiga, di masa post-modernisme, di mana manusia menuntut kecepatan dalam segala aspek penunjang kehidupannya.

Ketiga tahapan itu barangkali dapat dibaca sebagai fase yang saling memengaruhi. Fase pertama mengakibatkan terjadinya fase kedua dan fase kedua mengakibatkan fase ketiga. Hukum urutan yang sama juga berlaku pada fase ketiga menuju fase selanjutnya.

Apa fase selanjutnya setelah fase ketiga? Jelas bahwa ada akibat dari dunia yang terus berlari. Dalam bahasa Virilio, setiap tercipta sebuah inovasi tercipta pula sebuah kecelakaan. Sebagai contoh, ketika manusia menciptakan sepeda motor, maka saat itu pula kecelakaan-kecelakaan sepeda motorpun secara otomatis tercipta.

Jadi, segala sesuatu yang diciptakan akan berisiko mencelakakan. Segalanya akan bertambah buruk jika penggunaan ciptaan itu tidak disertai dengan pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam dunia dromologi Virilio, apabila manusia tidak membatasi diri atas tuntutan memperoleh kecepatan dari segala hal, ditambah bila manusia juga melupakan nilai-nilai humanismenya, maka hanya akan timbul ‘piknolepsi’ (atau mungkin bisa diterjemahkan secara sembarangan menjadi ‘kejang peradaban’).