Konsumen harus bersiap menghadapi pertumbuhan ekonomi melambat.
BARISAN.CO – Ekonom riset Bank of America menyampaikan, konsumen harus bersiap menghadapi pertumbuhan ekonomi melambat. Hal itu sama dengan yang disampaikan oleh ekonom, Awalil Rizky bahwa untuk kasus di Indonesia sendiri, tingkat ekonomi akan tumbuh di bawah 5%.
Mengutip Fortune, BofA menyebut, itu bisa terjadi jika ekonomi global yang melanda dunia tahun ini tidak disinkronisasikan dengan perang Ukraina, masalah rantai pasokan, lockdown, dan kenaikan suku bunga bank sentral.
Ethan dan timnya melihat pertumbuhan PDB AS turun menjadi 2,6% tahun ini dan 1,5% pada tahun depan, tetapi mereka berpendapat inflasi moderat ini sebagian besar akibat dari Federal Reverse yang menaikkan suku bunga.
“Lebih mudah bagi bank sentral untuk mengelola perlambatan ekonomi jika mereka adalah penyebabnya,” catat BofA.
Bank Dunia juga telah memperingatkan, ekonomi global menghadapi periode pertumbuhan lemah yang berkepanjangan dan inflasi tinggi sama seperti tahun 1970-an karena dampak pandemi dua tahun dan diperparah dengan invansi Rusia ke Ukraina.
Awal Juni ini, dalam pemeriksaan kesehatan ekonomi setengah tahunannya, Bank Dunia mengungkapkan gema dari stagflasi empat dekade lalu telah memangkas perkiraan pertumbuhan untuk tahun ini dari 4,1% menjadi 2,9%.
Presiden Bank Dunia, David Malpass menyampaikan, perang di Ukraina, penguncian di Cina, gangguan rantai pasokan, dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan. Menurutnya, banyak negara yag sulit menghindarinya.
Dikatakan juga, pertumbuhan ekonomi melambat antara tahun 2021 sampai 2024 akan menjadi dua kali daripada periode tahun 1976-1979.
“Pemulihan dan inflasi tinggi mengikuti guncangan minyak pada pertengahan dan akhir 1970-an membutuhkan kenaikan tajam dari suku bunga di Barat. Ini memainkan perang penting dalam memicu serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang,” ujar David.
Sementara itu, Bank Dunia menjelaskan, ekonomi pasar berkembang dan negara lebih rentan. Dikatakan tingkat pendapatan per kapita di negara berkembang pada tahun 2022 akan menajdi 5% di bawah tren pra-pandeminya.
Bank Dunia menambahkan, pertumbuhan di negara berkembang akan turun dari 6,6% menjadi 3,4%. David menegaskan, ekonomi dunia kembali dalam bahaya.
“Kali ini menghadapi inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi melambat di saat bersamaan. Bahkan, jika resesi global dapat dicegah, rasa sakit dari stagflasi dapat bertahan selama beberapa tahun, kecuali jika peningkatan pasokan besar-besaran dilakukan,” tegas David.
Di tengah perang Ukraina, lonjakan inflasi, dan kenaikan global, David memperkirakan pertubuhan ekonomi global akan merosot tahun ini.
“Beberapa tahun inflasi di atas rata-rata dan pertumbuhan di bawah rata-rata saat ini mungkin terjadi dengan konsekuensi yang berpotensi mengganggu stabilitas bagi negara berpenghasilan rendah dan menengah. Ini fenomena stagflasi yang belum pernah dunia lihat sejak tahun 1970-an,” ujar David. [rif]