Berita

Ekonom Senior Kritik Sri Mulyani soal Penurunan Tingkat Pengangguran

Anatasia Wahyudi
×

Ekonom Senior Kritik Sri Mulyani soal Penurunan Tingkat Pengangguran

Sebarkan artikel ini

Awalil Rizky, ekonom senior Bright Institute justru berpendapat, pernyataan Menteri Keuangan Indonesia itu sebagai glorifikasi.

BARISAN.CO – Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyampaikan, pertumbuhan ekonomi yang baik disertai dengan penurunan pengangguran.

“Angka pengangguran di Indonesia sudah berada di level 5,45%,” kata Sri dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran di Gedung DPR RI, Senin (10/7/2023).

Angka tersebut, katanya turun cukup signifikan jika dibandingkan dua tahun sebelumnya, yang mencapai 6,26 persen pada Februari tahun 2021.

Ditegaskan, arti penurunan tersebut sebagai 700 ribu orang penganggur sudah mendapatkan pekerjaan selama periode itu. Dari jumlah penganggur sebanyak 8,75 juta orang turun menjadi 7,99 juta orang.

Awalil Rizky, ekonom senior Bright Institute justru berpendapat, pernyataan Menteri Keuangan Indonesia itu sebagai glorifikasi.

Menurut Awalil, pertumbuhan ekonomi yang baik tak sekadar menurunkan jumlah pengangguran, namun harus ditelisik bagaimana kondisi umum pekerja dan lapangan kerja yang menyertainya.

“Angka pengangguran per Februari 2023 yang dikutip Sri Mulyani itu masih lebih tinggi dibanding sebelum pandemi,” kata Awalil.

Awalil menjelaskan, jumlah penganggur tercatat hanya sebesar 6,93 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,94 persen pada Februari 2020.

“Penurunan jumlah pengangguran dan TPT selama dua tahun terakhir memang mengindikasikan membaiknya perekonomian. Namun, kondisinya masih lebih buruk daripada sebelum pandemi Covid-19, artinya belum pulih sepenuhnya,” lanjut Awalil.

Awalil kemudian menjelaskan beberapa informasi ketenagakerjaan lainnya dari data BPS yang juga memberi indikasi belum sepenuhnya terjadi pemulihan ekonomi. Antara lain, jumlah pekerja pada sektor pertanian yang malah bertambah banyak.

Sektor pertanian telah berperan penting sebagai penyangga ketenagakerjaan di awal pandemi. Jumlah pekerja di sektor pertanian mengalami peningkatan dari 35,45 juta orang pada Agustus 2019 menjadi 38,05 juta orang pada Februari tahun 2020. Bahkan, kembali bertambah pada Februari 2023 menjadi 40,69 juta orang.

Pada saat bersamaan, lahan pertanian malah tidak bertambah. Sektor pertanian pun tumbuh melambat atau lebih rendah dari rata-ratanya sebelum pandemi. Produktivitas per pekerja menurun, yang mengindikasikan tidak meningkatnya kesejahteraan petani. Kondisi ini menjelaskan mengapa separuh penduduk miskin bekerja di sektor pertanian.

Awalil juga menyinggung soal lapangan pekerjaan yang bertambah signifikan berupa kegiatan informal.

“Jumlah lapangan pekerjaan informal masih mencapai 60,12% pada Februari 2023 atau lebih banyak dibanding Februari 2022 yang sebesar 59,97%. Sedangkan, pada Februari 2020 atau tiga tahun lalu hanya sebesar 56,64%,” tambah Awalil.

Salah satu kelompok dari pekerja informal ini disebut sebagai pekerja keluarga/tak dibayar yaitu orang yang bekerja membantu orang lain yang berusaha dengan tidak mendapat upah atau gaji, baik berupa uang maupun barang. Entah itu, anggota rumah tangga ataupun bukan dari orang yang dibantu.

Pekerja keluarga ini dalam kehidupan dan perbincangan sehari-hari serupa dengan pengangguran. Contohnya adalah mereka yang membantu keluarganya berdagang, kegiatan produksi industri rumah tangga, dan semacamnya. Meski tidak dibayar, BPS mencatatnya sebagai telah bekerja.