OTORITAS ekonomi Indonesia saat ini terus berusaha menggambarkan perekonomian nasional telah mengalami perbaikan signifikan setelah terdampak pandemi. Bahkan terkesan mengklaim sudah terjadi pemulihan.
Namun, jika dicermati berbagai indikator ekonomi yang utama, kondisi tahun 2021 masih jauh untuk dinilai pulih. Bahkan, masih sangat sulit pulih pada tahun 2022.
Untuk dinilai telah pulih memang bisa dipakai ukuran kondisi tahun 2019 atau tahun sebelum pandemi. Sebenarnya akan lebih tepat jika diukur dengan “kondisi hipotetis” seandainya tidak ada pendemi. Ukuran kedua ini memperhitungkan kesempatan yang hilang (opportunity loss) akibat pandemi.
Sebagai contoh indikator pertama adalah pertumbuhan ekonomi. Pandemi mengakibatkan kontraksi atau tumbuh minus 2,07% pada tahun 2020, dan hanya tumbuh sekitar 3,80% pada tahun 2021. Sebelum pandemi, selama periode pemerintahan Jokowi (2015-2019) rata-rata sebesar 5,03%. Sedangkan pada era pemerintahan SBY (2005-2014) mencapai 5,72%.
Berdasar besaran angka pertumbuhan saja, tahun 2021 masih belum kembali pada lintasannya yang di kisaran 5%. Pemerintah dalam APBN tahun 2022 pun hanya menargetkan tumbuh sebesar 5,2%.
Jika target pertumbuhan ekonomi tahun 2022 tercapai sebenarnya belum bisa dikatakan pulih dalam aspek ini. Pertumbuhan ekonomi dimaksud merupakan perbandingan nilai produksi riil tahun 2022 dibanding tahun 2021. Padahal, dengan kontraksi pada 2020 dilanjutkan tumbuh rendah pada 2021, maka basis data perhitungannya sudah rendah (low baseline effect).
Produksi riil atau Produk Domestik Bruto (PDB) menurut harga konstan mencerminkan banyaknya (nilai tambah) barang dan jasa yang diproduksi. Sebagai contoh, disebut kontraksi 2,07% karena PDB riil pada 2019 sebesar Rp10.949 triliun turun menjadi hanya Rp10.722 triliun pada 2020.
Jika berhasil tumbuh 3,80% pada 2021, maka PDB riilnya akan sebesar Rp11.129 triliun. Target APBN tumbuh 5,2% pada 2022 bisa diartikan PDB riil sebesar Rp11.708 triliun.
Dalam hal PDB riil, untuk diklaim pulih seharusnya bukan mencapai nilai tahun 2019, melainkan memperhitungkan andai berlangsung pada lintasan pertumbuhan rata-ratanya. Sederhananya mengejar kehilangan nilai produksi barang dan jasa, akibat sempat kontraksi dan tumbuh di bawah lintasannya.
Dengan memakai rata-rata tumbuh 5% saja, maka perhitungan PDB riil yang “pulih” adalah sebagai berikut: Rp12.072 triliun (2021). Rp12.675 triliun (2022), Rp13.309 triliun (2023), Rp13.974 triliun (2024), dan Rp14.673 triliun (2025). Dengan kata lain, target APBN pada 2022 pun masih di bawah indikator PDB riil yang layak dinilai pulih.
Pemerintah membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi sampai dengan 2025 berupa rentang as usual dan asumsi reform dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2022. Proyeksi pertumbuhan ekonomi dari Pemerintah tersebut bisa diterjemahkan berupa nilai PDB riil. Ketika dibandingkan dengan andai tak ada pandemi tadi, proyeksi optimis yang berasumsi reformasi struktural pun masih belum pulih hingga tahun 2025.
Reformasi struktural dimaksud dijelaskan antara lain dengan narasi reformasi perpajakan, refocusing belanja negara, pelaksanaan UU cipta kerja, melanjutkan program prioritas nasional, dan lain-lain.
Akan tetapi, ketika ditetapkan sebagai APBN, asumsi atau target pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5,2%. Padahal dalam Nota Keuangan dan RAPBN masih disebut rentang 5,0 – 5,5%. Artinya, pemerintah dan DPR sepakat tidak memakai batas atas atau asumsi reformasi, melainkan sekitar titik tengahnya saja.