Padahal Nabi Saw. bersabda, “Seseorang di antara kamu tidak akan masuk surga dengan amalnya.” Para sahabat bertanya, “Engkau juga tidak, Wahai Rasulullah?” Nabi Saw. menjawab, “Aku juga tidak, kecuali Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.”
Begitulah, bahwa sesungguhnya kebergantungan kepada Allah merupakan bukti makrifat kepada Allah. Adapun ciri bergantung kepada-Nya, harapan kepada Allah tidak berkurang tatkala jatuh dalam kegagalan, dan niscaya harapan tidak bertambah ketika meraih sukses. Senang susah tiada beda, toh semua berkat Dia yang Mahakehendak.
Singkatnya, laku syariat “Islam” adalah membereskan anggota badan dengan cara menjauhi larangan dan mematuhi perintah. Laku tarekat “iman” ialah membereskan hati dengan cara mengosongkannya dari kotoran-kotoran hati dan menghiasinya dengan keutamaan. Kemudian laku hakikat “ihsan” merupakan upaya mengasupi jiwa atau ruh, yakni menyadarkan diri dan merespon perintah-Nya yang ada di balik setiap yang ada.
“Ah, berat banget!” suara tiba-tiba mengemuka dari dalam hati.
Ya, memang, tapi tidak berarti tidak bisa. Sebab, barangsiapa telah sampai pada esensi Islam, tidak akan pernah merasa lelah untuk beramal. Barangsiapa telah sampai pada esensi iman, tidak akan beramal demi yang selain Dia. Dan, barangsiapa telah sampai pada esensi ihsan, tidak akan mampu berpaling kepada siapa pun selain Allah. Itulah esensi bertuhan, esensi mengabdi. Maka, ….