Imaduddin Abdullah menyoroti tinjauan Covid-19 dan dampaknya terhadap ekonomi dan sektor energi di Indonesia.
“Sektor energi juga mengalami pengaruh signifikan dari pandemi, sama seperti sektor-sektor lain dari pertumbuhan ekonomi suatu negara masa Covid-19. Begitu pula tinjauan stimulus fiskal terhadap sektor energi yang dialami sektor kelistrikan yang masih mampu bertahan dibanding sektor energi lainnya,” tuturnya.
Meskipun angka kasus terpapar telah dapat ditekan dan tingkat vaksinasi di dunia yang telah cukup tinggi di berbagai negara, menurut Imaduddin sektor transportasi global sebagai sektor penting dari pergerakan ekonomi karena penggunaan energi bahan bakar masih terpukul.
“Ditandai dengan sektor penerbangan dunia yang pertumbuhannya masih masih jauh di bawah level sebelum pandemi. Demikian pula tingkat kemacetan yang menurun di berbagai negara. Akibatnya, permintaan terhadap energi di seluruh dunia menjadi terpukul, kecuali di China,” terangnya.
Pemintaan terhadap minyak turun jauh di USA (-11%), Eropa (-13%), OECD (-12,5%), demikian pula permintaan terhadap Batubara di USA ( -19,1%), Eropa (-15,8%) OECD (-15,2%). Juga terhadap energi Gas yang turun di USA (-2,3%), Eropa (-3,1%) dan OECD (-2%).
Penurunan permintaan sektor energi disebutkan paling rendah di masa pandemi sejak perang dunia ke 2. Hal itu juga berdampak pada harga komoditas energi dunia yang mengalami penurunan paling rendah semasa pandemi.
Uniknya setelah melewati masa buruk pandemi, indeks harga komoditas energi dunia pada 2021 melesat jauh ke angka 120 ketimbang sebelum pandemi yang hanya sekitar 80.
Imaduddin berharap ke depan, sektor energi masih mengalami tantangan besar terutama dari mutasi virus covid-19 ataupun dari keberadaan vaksinasi yang timpang di berbagai negara.
“Kemudian juga tantangan dari target energy nasional terutama pada bauran energi baru dan terbarukan (EBT) dari 10,5 % (2015) menjadi 23% pada 2025. Tak ketinggalan juga tantangan dari stimulus fiskal yang diberikan pemerintah Indonesia yang cukup besar terhadap sektor lain, tetapi hanya sedikit terhadap sektor energi khususnya EBT,” tegasnya.
Sementara itu, Riza Annisa Pujarama menyampaikan mobilisasi penerimaan dapat berjalan dengan pembenahan sistem perpajakan.
Menurut Riza berlakunya Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) seperti naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan turut meningkatkan rasio perpajakan.
“Tax ratio Indonesia rendah dan terus mengalami penurunan. Berisiko atau tidaknya lonjakan utang tetap mempunyai risiko. Hal itu mengingat kemampuan pajak kita rendah,” pungkasnya. (Luk)