Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Fenomena Nyamuk dan Konsep Mukjizat Nabi Muhammad

Redaksi
×

Fenomena Nyamuk dan Konsep Mukjizat Nabi Muhammad

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Syahdan, nyamuk merupakan serangga kecil, bersayap, dan berbelalai tajam. Belalai yang tak lain sebagai pusaka untuk mengisap darah sekaligus menularkan kuman atau virus penyakit. Kita familiar dengan serangga ini. Ia beserta para kawannya acap kali menjadi musuh tidur kita. Mengusik kenyamanan kita.

Namun, Allah swt malah mengabadikannya sebagai perumpamaan. Bahkan menandaskan, “Sama sekali Allah tidak terhina untuk membuat perumpamaan nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.” (Al-Baqarah: 26).

Kenapa demikian? Gus Baha mengaitkan fenomena nyamuk itu dengan konsep mukjizat.

Mukjizat  yang sering diartikan sebagai amrun khariqun li al-‘adah—sesuatu yang menyalahi tradisi, yang dahsyat dan di luar nalar serta kemampuan manusia—kerap gagal dipahami. Mukjizat acap hanya dikaitkan dengan keluarbiasaan material inderawi, seperti tongkat Nabi Musa as yang beralih wujud menjadi ular dan sanggup untuk membelah Laut Merah. Atau unta Nabi Saleh as yang keluar dari dalam batu cadas.

Memang akal kita tak sampai, kenapa bisa sedemikian dahsyat mukjizat tongkat Nabi Musa as, dan unta Nabi Saleh as. Dan, jelas pula jawabnya: itu qudrah atau kuasa Tuhan.

Tapi Nabi Muhammad saw menolak mukjizat semacam itu. Karena, menurut paparan Gus Baha, sekira dituruti lama-lama umat Islam tidak bisa melihat kedahsyatan ciptaan Allah yang tergelar dalam keseharian. Kalau kita mengakui kekuasaan Tuhan dengan menunggu keluarbiasaan macam tongkat Nabi Musa as yang bisa dipakai untuk membelah laut, atau menunggu unta keluar dari batu gunung, maka kecelakaan besar dalam bertauhid. Kecelakaan besar dalam memahami qudratullah.

“Memangnya suatu yang normal atau biasa saja ini dalam kemampuan manusia? Tidak juga kan?” tanya Gus Baha. “Toh manusia tidak bisa bikin unta. Tidak bisa bikin laut. Tidak bisa bikin nyamuk. Jadi kalau mukjizat itu didefinisikan sesuatu yang kita tak mampu, memangnya keseharian alam ini pun kita mampu?”

Lebih jauh soal nyamuk, yang tak sekadar kecil, Gus Baha melontarkan tantangan. “Sampean semua, jika saya minta bikin patung. Kira-kira gampang mana: bikin patung nyamuk atau patung gajah? Gampang mana coba? Nyamuk juga punya alat kelamin, bagaimana menatah kelaminnya? Itu baru tantangan bikin patung, belum lagi jika Allah menantang untuk memberi nyawa. Jadi, apakah persoalan nyamuk ini tidak lebih dahsyat ketimbang tontonan mukjizat yang diperagakan para nabi sebelum Nabi Muhammad saw?”

“Bagi orang alim,” ungkap sang gus, putera Kiai Nursalim, “percontohan nyamuk itu lebih dahsyat ketimbang pertunjukan tongkat Nabi Musa as yang membelah laut merah. Juga pertunjukan Nabi Saleh as tatkala mengeluarkan unta dari dalam batu. Sebab baru diminta untuk sekadar bikin patung nyamuk saja kita sudah kesulitan.”

Sungguh, betapa mencerahkan! Betapa kedahsyatan itu tidak mesti berupa khariqun li al-‘adah, yang selalu menyalahi kebiasaan. Betapa yang biasa, yang kita lihat dalam keseharian itu saja nyata-nyata di luar kemampuan kita. Betapa yang remeh itu pun bukan atas kehendak kita. Betapa kita tak pernah mengupayakan kehadiran laut, kehadiran nyamuk, dan lain sebagainya. Benar-benar sebuah kebodohan, sekira kita tak menghayati keseharian sebagai tanda kekuasaan atau ayat Tuhan.

Sehigga tak aneh, Allah pun menjelaskan bahwa iman itu sesungguhnya cukup dengan menyaksikan alam. Menyaksikan segala yang ada di langit dan di bumi. Bahwa semua yang terhampar ini di luar kemampuan manusia. Bahwa siapa pun kita, dan apa pun gelar kita, mustahil sanggup bikin seekor nyamuk.