Scroll untuk baca artikel
Opini

Pertamina Rugi Rp11 Triliun, Boleh Bilang ‘Anjay’ Gak?

Redaksi
×

Pertamina Rugi Rp11 Triliun, Boleh Bilang ‘Anjay’ Gak?

Sebarkan artikel ini

Bahasa sangatlah cair, tergantung kebiasaan dan perspektif. Kecairannya sering kali membuat kita sulit menentukan, dalam contoh mutakhir, apakah ‘anjay’ itu sopan atau tidak.

Tapi di luar ‘anjay’, lebih menarik ditanyakan, mengapa orang berpendidikan bahasa yang baik cenderung menghindari kata yang sebetulnya dapat diterima secara budaya ataupun ketatabahasaan? Tentu saja, etika punya peranan.

Untuk banyak orang, bahasa cukup efektif jika dikemas dengan etika. Karena itulah maka hal-hal seperti martabat, harmoni, sportivitas, kolegialitas, dan bahkan kenegarawanan, dapat terjaga dengan baik.

Itu juga alasan etika berbahasa penting dimiliki elite politik, influencer, atau penguasa yang memiliki basis massa. Apalagi letak budaya kita lebih tinggi dari ‘konflik’. Sehingga, masyarakat lebih senang mendengar orang yang halus dan tak segan menjadikannya sebagai panutan.

Di sisi lain, tak sedikit yang coba ‘meminggirkan’ etika berbahasa. Kesadaran ini biasanya lahir dari sinisme kelas menengah kota. Sering kali, berakar dari kekecewaan, strata menengah mengendus hal kontraproduktif, snob, artifisial, dan bahkan hipokrit, di balik etika berbahasa sebagai alat komunikasi publik. Jika mereka mendengar politikus bicara, maka semakin halus, beretika, sopan bahasanya, patut diduga ada maksud buruk terselubung di belakang yang ia ucapkan.

Berkembanglah anggapan di kelas ini, bahwa etika berbahasa tidaklah selalu seindah kedengarannya. Semuanya yang terdengar indah, harus selalu diuji kembali dengan mata kepala. Mereka kemudian lebih senang mengandalkan mata daripada telinga.

Singkat cerita, di sinilah mulai terbentuk selera kelas menengah, yang lebih senang melihat bukti-bukti nyata daripada mendengar bahasa yang baik. Apa yang dilihat oleh mata akan lebih mudah dipercaya dan lebih cepat diidentifikasi daripada apa yang didengar.

Mungkin ini menjelaskan kenapa, pada masanya, jargon ‘kerja kerja kerja’ Presiden Jokowi berhasil mendominasi pikiran kelas menengah. Ditunjang semiotik menyingsing lengan baju sambil masuk gorong-gorong, tak pelak, jargon itu disukai atas kemampuannya membungkam kalangan yang dinilai hanya bisa jual kecap. Dibanding mereka, Jokowi tampak bertindak.

Namun atas penglihatan kelas menengah itu, yang terjadi kita kecolongan: kinerja Presiden Jokowi rupanya tidak baik-baik amat. Dan ia bahkan selalu heran dengan hasil kinerjanya sendiri (coba ketik di google: Jokowi heran).

Hari inipun kita kecolongan lagi atas penglihatan kelas menengah, yang memitoskan Ahok bisa bekerja, tanpa menimbang cara ia berbahasa. Digadang-gadang sebagai komisaris yang bisa membereskan masalah Pertamina, BUMN itu malah—astaga!—rugi Rp11 triliun di bawah Ahok.

Banyak Masalah Bahasa

‘Anjay’ barangkali hanya serpihan kecil dari masalah kita memandang bahasa. Sebetulnya, ada masalah yang lebih serius dari itu yang dampaknya tak pernah sepenuhnya disadari. Anda tebak: etika berbahasa makin memudar.

Sementara itu, orang berbahasa santun mulai dicap hipokrit. Lain antara apa yang diucapkan dengan yang dirasakan, dipikirkan, atau dikehendakinya.

Kita kemudian terpaksa menerima etika berbahasa tak terlalu penting zaman ini. Bahasa tidak lagi dijunjung dan dirayakan sebagai produk kekayaan berpikir. Dan orang lebih menghargai infrastruktur fisik karena bisa dilihat secara kasat mata.

Maka di sinilah kita, di mana etika berbahasa dimengerti secara keliru. Etika tidak lagi terbayang dalam bahasa, dan orang tak lagi berkhidmat kepada bahasa.

Bangsa lain bisa jadi sudah berpikir jauh, dan melihat ini sebagai peluang menjajah. Mereka membuat, merumuskan, dan menjual kosakata baru kepada kita dalam bentuk tren. Awalnya kita menggunakan bahasanya, lalu mengikuti logika berbicaranya, dan lalu tunduk pada selera mereka.