Bumi yang kita tempati ibarat debu melayang di tengah semesta. Termasuk matahari yang saban hari acap kali menyilaukan mata, dan menerbitkan kehangatan di muka bumi, ini juga merupakan titik kecil dari keluarga galaksi bimasakti. Dan begitu seterusnya.
Kembali kepada iqra’ wa rabbuka al- akram, Al-Quran menyifati Tuhan akram, adalah penandasan bahwa Ia akan menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji kepada para hamba yang membaca. Dan memang terbukti dalam sejarah, membaca merupakan jalan manusia memperoleh derajat kemanusiaan yang sempurna.
Membaca adalah syarat utama membangun peradaban. Sebaliknya, peradaban hancur tatkala pelaku sejarah tersebut mengabaikan tradisi membaca. Mereka lalai dengan ilmu, baik pengetahuan yang diperoleh maupun ladunni. Mereka gagal menjaga warisan puncak pengetahuan dari generasi sebelum mereka.
Kemudian, dalam kesempatan berbeda, di sebuah acara peringatan di Ponpes Al-Anwar, Gus Baha menandaskan kepada jemaah pengajian, terkhusus para santri Al-Anwar, agar terus menjaga ilmu. Karena dengan kekuatan ilmu, warisan Nabi saw akan hidup hingga akhir waktu. Dan, “Pastikan semua ilmu itu al-bayyinah, argumentatif secara jelas. Benar-benar argumentatif.” ungkap beliau.
“Semua nabi itu memiliki kekuatan ilmu. Punya kemampuan menelaah, mengkaji, dan menjelaskan. Kemampuan ini harus dimiliki para santri. Terutama belajar logika, ilmu mantik.”
Syahdan, ulama muda asal Rembang itu mewanti-wanti supaya tradisi keilmuan di pesantren terjaga. Karena kenyamanan beriman itu pun ditopang oleh kejelasan pengetahuan yang argumentatif. Karena itulah, semua nabi hadir bi al-ilmi. Para nabi tak mewariskan dirham, emas dan semacamnya, tapi ilmu. Dan, Nabi Muhammad saw mewariskan iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq, tradisi membaca yang tak memutus Allah.
Singkat kata, karena “bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”, kita akan memperoleh pemahaman secara utuh. Kita akan terselamatkan dari prasangka yang tak semestinya atas sesuatu. Kita tidak akan mengkultuskan sesuatu itu sebagai sesembahan yang menjerumuskan kita dalam syirik. Sekaligus tidak akan merendahkannya sebagai objek yang mesti dieksplorasi hingga tandas.
Demikian.