Barisan.co – Di penghujung dekade ’60-an, politik Indonesia sudah sangat konfrontatif antara kelompok komunis dan antikomunis, dengan Presiden Soekarno berdiri di tengah keduanya. Kelompok yang disebut terakhir muncul sebagai respons langsung atas semakin mesranya hubungan Soekarno dengan PKI.
Ada sekian organisasi pemuda, mahasiswa, perempuan, buruh, intelektual, guru, dan ulama yang menghimpun diri sebagai kelompok antikomunis. Satu di antara yang paling getol melawan PKI adalah warga Katolik. Perlawanan mereka berasal dari kekhawatiran, jika PKI berkuasa, maka mereka akan menjadi minoritas yang tertindas.
Bahkan, sebelum 1965, mahasiswa Katolik yang ada dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), telah mempersiapkan diri seandainya Indonesia benar dikuasai komunis secara legal dan konstitusional. Seperti dicatat oleh Jusuf Wanandi dalam bukunya, Menyibak Tabir Orde Baru (22:2014). Mereka menyiapkan skenario terburuk.
PMKRI sendiri, meskipun termasuk organisasi kecil, tapi banyak diisi oleh generasi muda yang aktif terlibat dalam diskursus intelektual. Kader-kadernya diberi pelatihan politik dan dibekali mesin tik, kertas, dan mesin stensil untuk mencetak pamflet-pamflet. Selain itu, dalam upaya membendung rencana-rencana PKI, PMKRI punya ‘senjata rahasia’, yaitu seorang informan di lingkungan pejabat teras PKI yang namanya dirahasiakan.
“Dari informasi-informasi dia, kami tahu bahwa kesimpulan kami tidak terlalu meleset: PKI akan mengambil alih kekuasaan, bukan dalam waktu lima tahu lagi, melainkan segera. Sangat segera. Seperti menurut Mao: kekuasaan melalui laras bedil.” (24:2014).
Dalam perkembangannya, informan aktivis Katolik ini memainkan banyak peran sebelum G30S/PKI meletus. Ia adalah lulusan Universitas Gajah Mada dan menjadi Katolik pada tahun 1958 setelah menikah dengan seorang gadis Katolik. “Anak muda ini sebelumnya menjadi anggota CGMI dan ketika ia berencana untuk menjadi Katolik, kami minta agar tidak diumumkan. Kami minta agar ia melaporkan kepada kami apa yang ia lihat dan dengar.” Tulis Jusuf Wanandi.
Sekitar Agustus 1965
Pada 4 Agustus 1965, Soekarno jatuh sakit dan membatalkan banyak rencana rapat. Memang sudah lama Bung Karno memiliki masalah ginjal. Salah satunya diketahui sudah tidak berfungsi.
Beberapa hari setelahnya, D.N Aidit tiba dari Beijing dengan enam atau tujuh dokter spesialis dari China. Dari sang informan, para aktivis Katolik kemudian tahu bahwa, benar Soekarno sempat pingsan, kulitnya penuh bercak biru dan ini merupakan gejala gagal ginjal.
Saat sakit itulah Soekarno total beristirahat. Ia tidak tampil di muka publik selama hampir dua minggu sebelum pada akhirnya, 17 Agustus 1965, ia berpidato di Hari Kemerdekaan Indonesia. Seperti dicatat Jusuf Wanandi, pidato Bung Karno yang biasanya berlangsung selama empat jam, hari itu selesai hanya kurang dari dua jam.
Dari sang informan, aktivis Katolik mendengar apa yang disampaikan dokter kepada Aidit: “Soekarno sakit. Dia tidak akan bertahan lebih lama lagi. Apapun yang Anda harus lakukan, lakukanlah segera.”
Pada hari itulah banyak orang tahu akan terjadi hal buruk dan menegangkan. Kalangan Katolik, sejak jauh-jauh hari sudah menyadari hal itu akan datang. Apalagi mereka mengetahui bahwa Pemuda Rakyat dan Gerwani sebagai underbouw PKI sudah rutin berlatih memegang senjata ringan di Halim.
Hal tersebut menjadi alasan bagi mereka, sejak 1964, melatih kekuatan fisik kadernya di Gunung Sahari, yang diikuti mulai dari pemimpin mahasiswa dan akademisi. Aktivitas serupa dilakukan juga oleh kelompok antikomunis lainnya, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang berlatih di Megamendung, Bogor, di kediaman Wakil Ketua NU Subchan ZE.