PADA tahun 1987 komisi dunia mengenai lingkungan dan pembangunan telah mencetuskan konsepsi mengenai pembangunan berkelanjutan diberbagai sektor. Pada sektor pertanian ditandai dengan adanya pengembangan pertanian organik yang ramah lingkungan dan tidak mempergunakan masukan bahan kimia sintetik.
Disamping hal-hal tersebut, di sisi yang lain juga ditandai dengan semakin menguatnya kesadaran masyarakat tentang masalah lingkungan hidup dan dampak global yang ditimbulkannya. Kesadaran tersebut secara otomatis telah mendorong adanya gerakan-gerakan untuk pelestarian lingkungan hidup. Sementara itu perilaku konsumenpun juga berubah.
Sejak saat itu konsumen lebih memilih produk pertanian yang memiliki ambang batas residu pestisida minimum dan juga mempersyaratkan proses produksi yang ramah lingkungan. Tak ayal lagi kesadaran untuk kembali kepada pertanian organik itupun menyerbu Indonesia.
Menurut catatan, sampai saat ini luas rata-rata kepemilikan lahan pertanian di Indonesia adalah kurang dari 0,3 Ha dengan kondisi kesuburan tanah yang semakin kritis akibat penggunaan pupuk kimia. Dengan situasi lahan yang sedemikian rupa tersebut secara otomatis membuat usaha pertanian menjadi semakin tidak ekonomis.
Sebagaimana yang terjadi di daratan Eropa dan Amerika, Sebenarnya di Indonesiapun telah sejak lama muncul kesadaran untuk kembali kepada model pertanian organik yang dipercaya lebih efisien, peduli kesehatan dan sekaligus ramah lingkungan. Kesadaran itu terutama tumbuh dari kalangan masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan kesehatan dan ekonomi yang beberapa tingkat di atas kelas menengah.
Kebanyakan mereka tinggal di perkotaan. Secara sadar mereka memilih untuk mengkonsumsi produk sayuran dan bahan makanan lain yang dibudidayakan secara organik. Kesadaran ini dengan sendirinya telah membentuk pasar bagi pertanian organik. Di sisi yang lain gerakan untuk kembali kekpada pertanian organik juga didorong oleh para aktivis lingkungan hidup yang prihatin dan peduli dengan berbagai macam pencemaran tanah dan air akibat penggunaan pupuk dan obat-obatan pertanian yang bersifat racun.
Namun begitu gerakan pertanian organik ini boleh dikata seolah-olah lambat bergerak tjika tidak mau dikatakan jalan di tempat.
Sejarah mencatat, bahwa penggunaan pupuk organik sebelum tahun lima puluhan relatif tinggi dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia. Kemudian setelah tahun itu produksi pupuk kimia semakin banyak dengan harga yang sangat murah dan cenderung semakin murah dari tahun ke tahun.
Dan seiring dengan produksi pupuk kimia yang semakin besar tersebut, dihasilkan pula tanaman yang responsif pada pemupukan kimia. Akibatnya penggunaan pupuk kimia pun semakin meningkat dari hari ke hari. Kondisi seperti inilah yang secara langsung mengubah pola pertanian di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Setidaknya ditemukan 3penyebab utama mengapa petani dan masyarakat umum enggan untuk beralih kembali pada model pertanian organik. Pertama adalah sifat atau pola pikir petani itu sendiri. Para petani biasanya takut dengan inovasi baru karena hal itu berarti spekulasi atas usahanya. Kita semua paham bahwa usaha pertanian sangat rentan dengan perubahan cuaca dan input sarana produksi pertanian.
Salah penanganan berarti kegagalan panen dan itu berarti tamat sudah modalnya. Bukan hanya itu saja, gagal panen berati gagal makan. Kondisinya memang ironi dan terasa mencekam karena memang petani berada pada situasi rentan miskin. Faktor itu terjadi salah satunya juga karena didorong oleh kepemilikan lahan yang semakin menyempit.