Barisan.co – Syahdan, banyak ulama sekaliber dunia yang berasal dari Indonesia. Hal itu menunjukkan betapa Islam benar-benar “rahmatan lil ‘alamin”. Banyak bertebaran ulama, yang justru bukan asli Arab. Seperti Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, lahir di Tus, Iran. Atau Imam Bukhari dari Bukhara, Uzbekistan. Syekh Nawawi, asli Banten, Indonesia.
Adalah Muhammad Darwis, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kiai Ahmad Dahlan, bersama Kiai Hasyim Asy’ari sewaktu masih di Indonesia berguru pada Kiai Sholeh Umar al-Samarani, yang acap dipanggil dengan julukan Kiai Sholeh Darat. Kiai Sholeh Darat sendiri pernah berguru pada kakek buyut keenam Gus Baha, Kiai Sholeh Asnawi, di Kudus.
Saat di Mekah, Kiai Hasyim Asy’ari belajar pada Kiai Mahfudz Termas, tapi sesekali ke Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Kiai Ahmad Dahlan, sebaliknya, lebih sering belajar pada Syekh Ahmad Khatib, dan sesekali pada Kiai Mahfudz Termas. Singkat cerita, Syekh Ahmad Khatib ini kerap terlibat dengan organisasi Islam modern dunia. Beliau pengagum Muhammad Abduh, pengagum Rasyid Ridha, sehingga bawaan Kiai Ahmad Dahlan, sang murid, pun lebih ke pergerakan.
Syekh Ahmad Khatib asal Minangkabau, seorang tokoh Islam yang memiliki reputasi Internasional. Beliau diambil mantu oleh pemilik toko kitab, Saleh Kurdi. Lantaran bermenantukan non-Arab, si Saleh ini kerap dicibir. Singkat kisah, Saleh Kurdi meminta para alim untuk menguji sang menantu, Syekh Khatib. Akhirnya beliau diuji untuk berkhutbah di sebuah masjid, tanpa persiapan sama sekali. Dan, lulus. Syekh Ahmad Khatib yang bukan asli Arab tapi fasih berbahasa Arab. Bahkan mengalahkan kefasihan syekh-syekh asli Arab. Semenjak itu beliau dikenal sebagai “Al-Khatib”, orang yang cakap berpidato atau berkhutbah.
Gus Baha di hadapan audiens, dosen-dosen Universitas Muhammadiyah Malang, 14 Juli 2020, menyelipkan kisah ulama-ulama Indonesia sekaliber dunia internasional. Betapa dulu, orang-orang Indonesia yang berada di tanah Hijaz, Arab, itu sedemikian terhormat. Mereka adalah ulama-ulama yang berbekal keilmuan dari ulama Indonesia, dan hendak memperdalam ilmu di sana, di tanah kelahiran Rasul Muhammad saw.
Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asy’ari, Syekh Khatib al-Minangkabawi, dan Syekh Nawawi, serta Syekh Muhammad Baqir al-Jugjawi. Para beliau itu, meski kemudian berguru pada ulama-ulama di Hijaz, tetap membawa pemikiran khas Jawa/Indonesia. Mereka sanggup membawakan Islam secara ilmiah, argumentatif, di hadapan syekh-syekh Arab. Syekh Nawawi, misalnya, membikin kagum para ulama Timur Tengah, karena bisa mengilmiahkan konsep jihad dan mati syahid.
Syahid itu hebat, memang, tapi harus dengan syarat atas nama penegakan kalimat Allah. Tidak boleh seseorang berangkat perang dengan niat demi mati syahid. Hal itu, menurut Syekh Nawawi, pertama, orang yang semata demi mati syahid, akan berangkat ke medan perang hanya supaya terbunuh. Kedua, dengan dia mati, berarti pasukan Islam berkurang, sama artinya menginginkan pasukan Islam itu lemah, hanya lantaran ambisi pribadinya untuk mendapat tiket surga. Jika yang demikian itu melanda seluruh anggota pasukan, agar mati syahid, maka pasukan muslim tidak akan serius memenangkan Islam. Mereka berjihad sekadar ingin cepat mati, dibunuh lawan, lantas langsung masuk surga.
Syekh Nawawi mengkritik itu. Menurut beliau, perang itu harus dengan niatan ingin menang, bukan demi mati syahid. Dengan kemenangan, niscaya kalimat Islam pun tegak di muka bumi. Sementara yang berniat syahid, berarti menuruti nafsu sendiri untuk secepatnya memperoleh surga, itu sama saja tiada peduli akan nasib Islam di kemudian hari.
“Syarat perang itu ya ingin menang, supaya kalimatullah menang, maka jangan berkeinginan kalah. Soal mati syahid itu takdir, tapi jangan ingin mati.” Penjelasan Syekh Nawawi yang dituturkan Gus Baha. “Dan, beliau itu rileks kalau menjelaskan ilmu. Begitu gampang menerangkan Al-Quran.” imbuh Gus Baha.
Juga Syekh Nawawi pernah diuji keulamaannya oleh seratus ulama, dan salah satunya bertanya: “keren mana antara ulama dengan penguasa?”
“Ulama.”
“Tapi faktanya, banyak ulama yang mengantre menghadap raja. Dan, fakta pula tak sekali pun raja mengantre sowan ke ulama!”
Jawab Syekh Nawawi unik, terang Gus Baha: “Ya, karena ulama itu tahu fungsinya uang, sehingga cara mencarinya sampai kayak begitu. Sementara raja-raja itu tak mengerti fungsinya ilmu, sehingga tak pernah sowan ulama.”
Sebuah jawaban cerdas khas Jawa, khas Indonesia. Bahwa apa-apa yang menurut umum “baik” atau “buruk” akan sedemikian gampang ditafsirkan secara logis. Semenjak itulah, Jawa dan atau Indonesia dipandang istimewa oleh ulama-ulama Timur Tengah. Sebab pemahaman ulama Indonesia itu khas. Banyak fatwa ulama dari negeri ini yang dirujuk untuk mengatasi persoalan-persoalan keagamaan. Seperti: bagaimana hukum Mina diperluas?
“Dan, ternyata rujukan yang digunakan, baik yang membolehkan maupun melarang Mina diperluas, adalah fatwa dari syekh-syekh Indonesia, seperti Syekh Nawawi, Syekh Ahmad Khatib, atau Syekh Mahfudz Termas.” papar Gus Baha.
Ada logika khas Jawa, “Gunung yang kelihatan itu, kakinya yang di dalam bumi (yang tak kelihatan) ini jelas lebih luas. Lha permukaan yang kecil itu tetap saja bawahnya lebih luas. Maka bolehlah Mina diperluas.”
Walhasil, ulama-ulama produk pengajaran di pesantren kita itu tidak kalah top dengan ulama-ulama Arab yang memang saban hari berbahasa Arab. Pondok-pondok pesantren di sini mengajarkan detail saat belajar bahasa Arab, yang tak kalah bagus dengan Al Ahzar, Mesir, atau pengajaran di Arab. Sehingga tak aneh sekira ulama Indonesia menjadi master di Arab. Syekh Nawawi, kita tahu, dijuluki Sayyid Ulama al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Beliau ditunjuk sebagai Imam Masjidil Haram, menggantikan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Kita mafhum pula bahwasanya kitab-kitab karangan Syekh Mahfudz Termas, selain dipakai oleh hampir semua pondok pesantren di Indonesia, telah dijadikan literatur wajib di perguruan tinggi Timur Tengah.
“Makanya ini PR buat UMM, PR buat IAIN, UIN, bisa nggak sealim mereka?” tantang Gus Baha.
Demikian.
Diskusi tentang post ini