Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Hakikat Menikmati Sujud

Redaksi
×

Hakikat Menikmati Sujud

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Masih saja terngiang. Terlebih karena hari-hari ini, kita sering tinggal di rumah, seiring adanya kepanikan global sebab pandemi corona. Pandemi yang benar-benar memaksa kita untuk menata ulang cara hidup, sekaligus menghayati hakikat dunia. Dan, Kiai Ahmad Bahauddin Nursalim, akrab dengan sapaan Gus Baha, dalam sebuah pengajian rutinnya memapar hakikat dunia.  

“Dalam hakikat, sekarang ini kita mati. Buktinya kita sering salah paham. Kita salah menganggap bahwa uang itu penting. Bahwa jabatan penting. Bahwa punya pengaruh penting. Padahal kelak di akhirat, semua yang kita anggap penting itu tak penting.”

Ya, dengan nada canda, tapi sungguh menohok, dan memang begitulah khas Gus Baha. Beliau ringan saja mengatakan bahwa uang itu tak penting, tapi buat kita jelas tak demikian. Kita tak sepenuhnya bisa mengalahkan dunia. Kita belum sepenuhnya bisa mengagungkan akhirat.

Padahal, “Nabi mengumpamakan,” ungkap Gus Baha, “kebanyakan manusia itu sedang tidur. Dalam tidur itu, kita kurang atau malah tidak sadar. Dan, begitu manusia meninggal dunia, itu berarti dibangunkan. Berarti ia sadar. Berarti kita hidup.”

Nah, terus terang saja ungkapan tersebut begitu mengiang di benak saya. Bahwa yang sadar, yang hidup, itu tak akan memenangkan dunia. Bahwa yang berkesadaran tak akan mengalahkan akhirat. Bahwa sekarang ini, selagi jantung masih berdetak, hakikatnya mati. Bahwa sesungguhnya hidup, itu justrukelak di akhirat.

Sebuah konsep yang luput dari benak. Betapa kita acap kali menganggap uang sebegitu penting. Betapa kita menganggap dibaiki oleh tetangga itu penting. Betapa kenal, atau bahkan akrab, dengan pejabat itu juga tak kalah penting. Padahal kelak di akhirat, yang penting itu ya ketika kini kita sujud kepada Tuhan. Ketika berpamrih hanya pada-Nya. Dan ketika tak terdikte oleh keadaan.

Terbayanglah, betapa kelak di kampung akhirat, kita akan kecewa, tatkala mendapati diri: di dunia malas menegakkan sujud dan rukuk kepada Tuhan, enggan menunaikan hak-Nya untuk menemani kaum yatim, enggan mengulur bantuan pada tetangga, merasa berat untuk menegakkan tahajud, dan sebagainya. Terngiang jelas, salatlah (dan laku kebajikan) yang akan menjadi wadag kita di sana. Bukan uang, bukan pengaruh, bukan ini bukan itu dan semua saja yang bak igauan tatkala tidur.

Gus Baha menandaskan, kelak di akhirat kita pun baru sadar bahwa ketika di dunia ternyata kita kerap mengigau. Kita mengigau menjadi orang terkenal itu suatu kebanggaan. Kita mengigau memiliki apa-apa itu kemewahan yang mesti diperebutkan. Padahal di akhirat nyata-nyata semua itu tak penting. Yang penting ternyata saat-saat bersujud kepada Allah. Saat-saat kita bisa menikmati salat. Saat-saat kita  menghormati tetangga, dan hal-hal lain yang kita anggap biasa, yang justru di akhirat itu yang bernilai.

Dan pula, kita acap kali memandang dengan teramat remeh kepada seorang kiai (tak bernama dan bereputasi kecil) di sebuah musala mungil. Kita acap menganggap biasa seorang guru TPQ, dan siapa saja yang menunaikan segala kegiatan yang bersangkut dengan akhirat. Sebaliknya, kepada pejabat atau kepada yang berduit kita junjung tinggi. Padahal terang sebagaimana tandas Gus Baha, justru kiai kecil atau guru ngaji itulah yang berkemungkinan mensyafaati kita di akhirat.

Alhasil, akhirat itulah sesungguhnya kehidupan. Dan, kenangan terindah di dunia adalah seberapa sering kita bersujud kepada Tuhan. Seberapa kita bisa menikmati sujud.

Demikian.