BARISAN.CO – Syekh Ibnu ‘Athaillah benar-benar menguliti kita. Perasaan hati ini serasa diaduk-aduk. Dengan tandas, beliau menghardik bagaimana hati bersinar terang, selagi gambaran duniawi masih mengakar erat. Bagaimana bisa merasakan kehadiran Tuhan, sementara ambisi keinginan sedemikian hingga mencengkeram hati.
Dalam hal ini, Syekh Muhammad Said Ramadhan mengurainya dengan jernih. Manusia itu, menurut beliau, terdiri dua pilar utama, yakni akal dan hati. Akal merupakan sarana untuk menyadari dan mengetahui. Sedang hati menjadi wadah berkumpul berbagai perasaan dan emosi. Hati seperti layar yang memiliki kepekaan, yang mendorong, yang membentengi, dan yang menghebohkan.
Dengan dua pilar tersebut, peradaban tercipta, ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan mewarnai kehidupan, dan sebaliknya kerusakan-kerusakan pun acap tak terelakkan. Nah, pertanyaannya, mana, dari dua pilar itu, yang dominan menggerakkan kita?
Dan, Syekh Said Ramadhan menyatakan, 70 % adalah dorongan hati, sementara dorongan intelektual hanya 30 %.
Sehingga jelaslah, kenapa Syekh Ibnu ‘Athaillah menyamakan hati dengan cermin, “Bagaimana mungkin kalbu akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya?” Ya, tak lain tidak bukan, perilaku kita lebih didominasi oleh perasaan cinta, benci, iri, dendam, dan amanah, dan seterusnya. Hati memantulkan berbagai perasaan kita atas respons terhadap situasi dunia.
Lebih lanjut, Syekh Ibnu ‘Athaillah menyatakan, “Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsu? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia belum bersuci dari kotoran kelalaian? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruan?”
Adalah masih terbelenggu nafsu, belum bersuci, dan belum bertobat dari kekeliruan, tiada lain lantaran segenap kegiatan kita masih berada di bawah dominasi dorongan perasaan yang bercokol di hati. Kita berperilaku lebih banyak karena dorongan hati ketimbang dalam panduan akal.
Kita sadar, itu tidak benar. Kita paham, Tuhan tidak meridhai. Bahkan kita juga kerap mengalami, betapa berbahaya adanya dominasi perasaan terhadap akal. Namun sayang, hati yang merupakan wadah mengolah berbagai perasaan itu, telah menjerat lantas menggerakkan kita.
Sementara akal merana, hanya berfungsi sebatas lampu yang menyinari, tapi lewat begitu saja. Akal mengingatkan bahwa menghadapkan keinginan semata kepada duniawi itu salah. Namun, sekali lagi, lantaran harta benda, kesenangan, kedudukan, ketenaran, dan lain-lain itu yang menjadi harapan, yang tercetak jelas pada cermin hati, niscaya kekonyolan demi kekonyolan pun berlangsung menghias hidup.
Padahal, sekira bertumpu pada akal, keimanan niscaya terjaga. Sebab akal bisa menyadari kebenaran itu secara otomatis. Akal mustahil berkhianat bahwa 1 + 1 = 2. Syekh Said Ramadhan melukiskan, tatkala kita hadir dalam suatu majelis pengajian, akal mendapat asupan kebenaran. Tapi begitu keluar dari pengajian, hawa nafsu dan keinginan-keinginan sesaat meneror. Saat yang demikian, pilihan menuntut kita: menyerahkan diri sepenuhnya kepada kontrol hati atau sebaliknya diterangi akal.
Namun, Syekh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan, “Bagaimana hati bisa bersinar, manakala anasir keduniaan masih melekatinya?” Bahwa hati akan tertutup kegelapan, jika melekat kepada hawa nafsu, kepada keinginan, kepada perasaan iri, kepada dendam, amarah.
Lain soal, ketika menghadap akal, maka benih cinta kepada Allah akan tertanam dan kemudian memancar dari hati. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (Ali Imran: 190).