Apresiasi patut diberikan pada peningkatan koordinasi antara Pemerintah dengan BI, terutama dalam hal berbagi beban pembiayaan APBN itu. Namun, perlu pula diperhitungkan tentang seberapa besar beban yang dapat ditanggung oleh BI. Jangan sampai, kondisi fiskal yang “sakit” justeru akan menular pada kondisi moneter dan ke bank sentral pada umumnya. Analoginya serupa dengan memberi pertolongan pada orang yang hampir tenggelam padahal tak bisa berenang lagi. Penolong yang masih bisa berenang jika tidak membantu dengan cara yang benar, maka akan dapat ikut tenggelam bersama.
Gubernur Bank Indonesia mengakui skema burden sharing akan berdampak pada neraca keuangan BI. Pihak BI telah memperkirakan akan mengalami defisit hingga Rp21 triliun pada tahun 2021. Sedangkan, surplus tahun 2020 justru akan relatif besar.
Keuangan Bank Indonesia selama beberapa tahun terakhir cenderung mengalami surplus. Pada tahun 2019 tahun, surplusnya sebelum pajak sebesar Rp45,22 triliun, dan setelah pajak sebesar Rp33,35 triliun. Sebagai tambahan informasi, sumber penghasilan yang terutama adalah pendapatan bunga dan pendapatan selisih kurs transaksi valuta asing.
Pada tahun 2019, pendapatan bunga mencapai Rp48,75 triliun, namun diikuti oleh beban bunga sebesar Rp20,28 triliun. Sedangkan dari pendapatan selisih kurs transaksi valuta asing mencapai Rp21,41 triliun, yang merupakan 23,32% dari total penghasilan Bank Indonesia. Dalam hal ini, nilai dan porsinya amat fluktuatif. Kadang menjadi sumber pendapatan terbesar pada suatu tahun, sebagaimana yang mungkin akan dialami pada tahun 2020 ini.
Dalam ungkapan sederhana, jika volatilitas kurs meningkat, maka BI akan memperoleh pendapatan yang lebih besar. Akan tetapi, pada saat bersamaan biasanya kondisi perekonomian diliputi banyak faktor ketidakpastian. Dan dalam kondisi saat ini, kebijakan operasi moneter BI tentu saja mengarah pada upaya menjaga stabilitas nilai tukar di sisa tahun 2020 dan pada tahun 2021.
Sedangkan dalam perhitungan pendapatan bunga dan beban bunga secara neto, kemungkinan BI tidak akan meningkat signifikan pada tahun 2020. Bahkan ada kemungkinan mengalami penurunan pada tahun 2021. Ini salah satu dampak dari burden sharing skema dua.
Jika prognosa BI terjadi, yaitu mengalami defisit hingga Rp21 triliun pada tahun 2021, maka akan ada perubahan cukup besar pada neraca Bank Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir, perhitungan rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank Indonesia selalu di atas 10%, sehingga BI telah menyetorkan sisa surplus yang merupakan bagian Pemerintah. Kondisi berbeda dapat dialami pada tahun 2021 dan tahun-tahun selanjutnya. Sesuai perundang-undangan, pada giliran berikutnya, mungkin saja Pemerintah (APBN) yang harus menambah modal BI.