Oleh: Awalil Rizky*
Barisan.co – APBN 2020 dan 2021 telah disusun dengan rencana defisit yang amat besar. Kemudian ditambah beberapa pengeluaran pembiayaan, seperti investasi, yang terbilang tak sedikit. Akibatnya, kebutuhan utang baru menjadi berlipat dari kondisi normal. Padahal, sumber pembiayaan utang yang diandalkan selama ini adalah penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Nyaris mustahil berharap pasar akan mampu menyerap seluruhnya. Apalagi pada saat bersamaan, cukup banyak negara sedang menerbitkan obligasi dengan nilai yang melebihi biasanya.
Mengatasi soalan itu, Pemerintah dan Bank Indonesia secara bertahap kemudian menyepakati beberapa bentuk berbagi beban. Narasinya adalah dalam rangka membiayai mitigasi dampak pandemi dan program pemulihan ekonomi nasional.
Pengelolaan kebijakan ekonomi Indonesia memang tidak hanya oleh Pemerintah, melainkan juga oleh beberapa otoritas ekonomi yang lain. Ada Bank Indonesia (BI) yang merupakan bank sentral dengan otoritas utama pada sektor moneter, seperti menentukan jumlah uang beredar dan suku bunga acuan. Ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur industri keuangan, termasuk perbankan.
Dengan demikian, pemahaman kita akan kebijakan fiskal, moneter, perbankan, dan berbagai jenis kebijakan lainnya perlu memperhatikan konteks Indonesia. Ada perbedaan antar negara yang kadang cukup mendasar dalam soalan tersebut.
Di sisi lain, dinamika ekonomi membuat hubungan antar sektor terjalin erat. Saling pengaruhnya pun makin bersifat segera. Diimbuhi pengaruh dinamika global dan antar negara yang makin erat dan seketika pula. Tentu saja respon kebijakan ekonomi yang dibutuhkan memerlukan harmonisasi dan koordinasi antar otoritas dan jenis kebijakan.
Hal itu cukup disadari oleh otoritas ekonomi Indonesia. Terutama dalam konteks jika ada kondisi yang bersifat guncangan dan bisa mengakibatkan dampak buruk yang sistemik, yang dimulai dari atau diperparah oleh kondisi industri keuangan. Telah dibentuk Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) pada tanggal 30 Desember 2005, berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.
FSSK adalah forum koordinasi, kerja sama dan pertukaran informasi antara otoritas yang berkepentingan dalam pemeliharaan stabilitas sistem keuangan Indonesia. Forum ini disebut pihak otoritas sebagai sangat diperlukan terutama dalam menghadapi risiko atau dampak sistemik, yang penyelesaiannya menuntut kebijakan dan pengambilan keputusan bersama secara efektif dan responsif.
Akan tetapi, sejauh yang tampak dalam pemberitaan publik, forum hanya berlangsung sebulan sekali. Keterangan pers yang diberikan pun terkesan masih berkonten laporan masing-masing unit otoritas. Belum kelihatan aspek harmonisasi dan koordinasi yang kuat. Kemajuan yang tampak sebelum pandemi, baru berupa dikenalkannya istilah baru kebijakan ekonomi, khususnya makro ekonomi.
Hikmah pandemi dalam konteks ini adalah meningkatnya koordinasi antar otoritas. Meski sempat ada beberapa arah kebijakan yang dikomunikasikan ke publik tampak berbeda pada awal April. Misalnya soal asumsi kurs rupiah dari Pemerintah, dan target dari Bank Indonesia. Beberapa waktu kemudian terlihat lebih koordinatif dalam komunikasi publik dari semua pihak otoritas. Hingga kini mengemuka dan menjadi bahan perbincangan adalah kebijakan berbagai beban antara Pemerintah dan Bank Indonesia.
Ada skema burden sharing atau menanggung beban bersama antara Bank Indonesia dan pemerintah berdasarkan keputusan bersama Menteri Keuangan yang pertama, pada 16 April 2020. Disepakati BI berperan sebagai standby buyer hingga 25 persen dari jumlah yang dilelang pemerintah.