Kembali pada fenomena pemanasan global (global warming) yang dirasakan semakin meningkat, maka akhirnya sampai jugalah manusia modern pada kesimpulannya yaitu bahwa homo economicuslah penyebab utamanya. Ketidakadilan global pun terjadi karena itu pula.
Tidak terlalu berlebihan bila dalam tulisannya, Edward J. O’Boyle, Ph.D. dari Mayo Research Institute menulis artikel berjudul “Requiem for Homo Economicus.”
Hal ini selaras dengan laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang keempat pada 2007, yang melihat bahwa faktor manusia (anthropogenic) menjadi salah satu penyebab kunci dari pemanasan global. Hal inilah yang kemudian ditindaklanjuti dalam IPCC Expert Meeting on Detection and Attribution Related to Anthropogenic Climate Change pada 2009 di Geneva, Swiss yang baru lalu.
Jika jurang perbedaan terbentang begitu dalam antara homo religiosus dan homo techno-economicus terutama dalam tata kelola bumi, lalu masih adakah kesempatan yang dappat diharapkan bahwa di masa yang akan datang homo religiosus dapat hidup kembali menjadi wajah manusia modern?
Jawabannya jelas: dapat, karena krisis lingkungan yang dialami saat ini secara otomatis akan membelokkan arah tersebut. Terkait dengan krisis ekologis, orang mulai berpaling untuk mengasah kembali wajah homo ecologicus pada manusia. Dan itu berarti orang mulai lebih serius dan lebih marak mendalami paradigma homo ecologicus.
Kesadaran, yang sebenarnya tidak sama sekali baru bagi manusia, hal ini dapat meretas pula kembalinya homo religiosus pada panggung peradaban manusia karena ada banyak hal dalam paradigmanya yang saling bersinggungan dengan paradigma homo religiosus. Pendek kata, dapat dikatakan bahwa munculnya kembali homo ecologicus dalam panggung kehidupan manusia dapat menjadi jembatan bagi jurang yang ada di antara homo techno-economicus dengan homo religiosus.
Di satu sisi, seperti telah disebut di atas, paradigma homo ecologicus dengan homo religiosus cukup dekat, sementara paradigma homo ecologicus, meski agak bertentangan dengan homo economiccus , tetapi relatif lebih mudah dipahami oleh homo economicus. Hal ini karena keduanya pada dasarnya mengurus bidang yang sama, yaitu rumah bersama (oikos), yaitu dunia ini.
Terhadap dunia ini, homo ecologicus mencoba memahami, sementara itu homo economicus lebih fokus pada mengatur dan mengelolanya. Secara antropologis, homo ecologicus tidak menempatkan dirinya sebagai pusat dunia, melainkan sebagai bagian saja dari dunia ini. Ia tidak antroposentris, apalagi self-sentris.
Kebersamaan hidup menjadi penting baginya, saling mendukung, saling memberi, saling bergantung dan saling menerima. Harmoni atau keseimbangan menjadi keutamaan, dan karena itu relasinya dengan elemen dunia lainnya pun apresiatif. Kepuasan lalu tampak ditumpukan pada jiwa, juga karena menganggap makhluk lain juga mempunyai jiwa.
Pandangannya atas ruang dan waktu cukup luas, meski tidak sampai pada yang tak terbatas, atau pada kategori medium. Terhadap ruang, homo ecologicus tidak memotong-motong menjadi bidang-bidang terbatas dan memprediksi kemajuannya.
Homo ecologicus tetap melihat aspek kreatif dan misterius dalam perkembangan ruang ini di dunia ini, terkait dengan kekayaan luar-biasa pada setiap elemen dan makhluknya. Dunia dan seisinya oleh homo ecologicus dipandang sebagai ‘suaka kudus’ (sanctuary).
lalu bagaimanakah sebenarnya homo ecologicus akan menjadi jembatan bagi tumbuhnya homo religiosus. Kedekatan antara homo ecologicus dan homo religiosus sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru.
Menurut Rudolf Otto bahwa keterpesonaan inderawi manusia atas misteri alam semesta adalah salah satu sifat dasar dari pengalaman religiusnya.
Dan pengalaman religius bukanlah pengalaman yang bersifat a-historis yang jatuh dari langit. Maka Pengalaman religius itu selalu saja akan terkait dengan konteks hidup seseorang. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa homo religiosus memang berakar pada homo ecologicus, sehingga, sekali lagi, dapat disebut sebagai homo eco-religiosus.
Dalam beberapa nilai yang dipegang, homo ecologicus dan homo religiosus dapatlah disejajarkan. Telah disebut di atas bahwa homo religiosus memegang prinsip-prinsip (1) ketundukan (submission), (2) penyembahan (worship), (3) rahmat (grace), (4) ketaatan (obedience), dan (5) keadilan Tuhan (God’s justice). Sementara itu, homo ecologicus memegang nilai-nilai (1) penghormatan (reverence), (2) tanggungjawab (responsibility), (3) hemat (frugality), (4) keberagaman (diversity), dan (5) keadilan untuk semua (ecojustice, justice for all).
Mengingat semua itu maka , yang dapat dipelajari oleh homo techno-economicus dari kearifan lokal adalah bagaimana mengelola alam ini dengan perspektif yang lebih luas. Pada kearifan lokal homo techno-economicus dapat belajar bagaimana mengasah wajahnya agar menjadi homo ecologicus sekaligus menjadi homo eco-religiosus.
Dalam ungkapan yang lebih sederhana: manusia modern perlu belajar bagaimana mengasah religiositas kemanusiaannya melalui kepeduliannya pada lingkungan hidup sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh masyrakat-masyarakat tradisional , meski tetap harus kritis agar tidak jatuh dalam neo-immanenteisme dan atau panteism yang muncul dalam wajah new age.
Istilah Henryk Skolimowski, kesadaran ekologis yang diasah akan membawa manusia modern pada kesadaran religius sebagai makhluk yang senantiasa belum selesai, dan bergerak untuk ‘mengatasi’ dunia fisik ini serta menyadari dimensi spiritual yang ada di dalamnya, lalu di situlah ada kesadaran partisipatoris terhadap isi dunia yang lain.
Tentu, termasuk di dalamnya, manusia modern dapat menimba kekayaan dari kearifan tradisional, terutama dalam upaya memperkaya kategori-kategori filosofis-teologisnya. Akhirnya Kearifan tradisional yang masih relatif jauh dari pengaruh kategori filosofis modern itu diharapkan dapat melengkapi kekurangan kategori filosofis dalam teologi manusia modern. Dan Dengan itu maka diharapkan bahwa manusia modern dapat lebih ‘memanusiawikan’ wajah rasionalnya.