ISU pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur tak ada habisnya. Selain pembangunan yang tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang memadai, soal sumber pembiayaan hingga kepemilikan lahan yang diobral terus menjadi kontroversi dan pergunjingan di masyarakat.
Isu terbaru yang cukup mengejutkan publik adalah rencana Pemerintah yang akan merevisi Undang Nomor 3/2002 tentang IKN. Padahal UU ini baru disahkan pada 15 Februari 2022.
Sungguh ajaib UU yang belum genap setahun — baru tahap pembentukan struktur Badan Otorita IKN — tiba-tiba mau direvisi. UU yang belum diimbuhi peraturan pemerintah (PP), alias belum aplikatif.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa secar jelas menyatakan revisi tersebut keinginan Presiden Jokowi. Setidaknya ada tiga alasan revisi. Selebihnya bisa saja nanti seperti membuka kotak pandora alias merembet kemana-mana.
Pertama, adanya masukan dari masyarakat (civil society) seperti banyak aduan lewat Mahkamah Konstitusi (MK).
Kedua, penguatan struktur organisasi dan kewenangan Badan Otorita IKN. Dalam UU dianggap belum jelas IKN ini daerah otonomi atau menjadi kewenangan kementerian dan lembaga. Revisi, konon bertujuan untuk memperjelas itu semua.
Ketiga, memberikan kepastian kepada calon investor soal penguasaan tanah. Pemerintah menganggap penguasaan lahan selama 90 tahun dianggap kurang menarik investor. Biar investor kepincut maka hak penguasaan harus ditambah hampir dua abad.
Publik sudah menilai, dua alasan sebelumnya hanya bunga-bunga alias pelengkap. Tujuan utamanya justru memperpanjang penguasaan lahan.
Entah keluar darimana gagasan serta bahan rujukannya sehingga Pemerintah mewacanakan mengobral sampai hampir dua abad kepada swasta untuk menguasai tanah negara. Sementara penguasaan lahan yang sudah diatur sampai 90 tahun pun sudah dianggap keterlaluan.
Wacana revisi UU IKN melahirkan sejumlah konsekuensi. Pertama, pemerintah dan DPR yang memiliki kewenangan membuat UU dianggap tidak serius. Muncul anggapan mereka membuat UU asal jadi soal lain urusan belakangan. Bahkan selalu ada ungkapan dari Pemerintah dan DPR, bila masyarakat tidak puas silakan mengajukan uji materiil ke MK.
Mereka (pemerintah dan DPR) rupanya hilang ingatan alias amnesia dengan tugasnya. Mereka digaji negara dari pajak rakyat itu salah satunya untuk membuat UU yang bermutu. Kalau UU diuji ke MK berarti UU yang dibuat mereka tidak bermutu, jelek, rusak atau cacat.
Soal UU IKN sebagai produk cacat dapat dikonfirmasi dari pernyataan Suharso seperti dikutif dari CNBC Indonesia, “… kemarin ini waktu penyusunannya itu seakan-akan tidak begitu jelas posisinya sebagai daerah otonomi atau kementerian lembaga itu mau kita pertajam di situ.”
Kedua, wacana revisi menabalkan kenyataan bahwa IKN memang tidak menarik investor. Baik investor asing atau dalam negeri. Padahal Presiden Jokowi dan juga para menterinya selalu mengatakan peminat IKN membludak termasuk dari Uni Eropa. Informasi itu berarti terbantahkan dengan wacana revisi.
Ketiga, revisi juga menabalkan ambisi Presiden Jokowi agar IKN terwujud sebelum lengser. Minimal ada kepastian investornya. Jokowi juga kemungkinan tidak yakin dengan presiden dan DPR berikutnya dapat meneruskan pembangunan IKN.
Satu tahun masa pemerintahan yang tersisa juga tidak cukup untuk mewujudkan IKN seperti yang digambarkan Pemerintah. IKN adalah dunia nyata bukan dongeng Bandung Bondowoso.
Akhirul kalam, Presiden Jokowi cukup dikenang dan dicatat sejarawan sebagai peletak gagasan pembangunan IKN. Berikan kesempatan kepada Pemerintah berikutnya untuk menarasikannya. Apakah narasi itu akan mewujud dalam IKN seperti dalam bayangan Jokowi atau justru sebaliknya.