
Tingkat produksi sendiri sempat sedikit membaik, namun karena diikuti oleh permintaan domestik yang terus meningkat, maka volume ekspor terus menurun. Ekspor gula Indonesia kemudian terhenti sejak tahun 1966. Bahkan, untuk pertama kalinya melakukan impor sebesar 33 ton pada tahun 1967.
Produksi sempat cenderung meningkat secara perlahan, dari 1,26 juta ton pada tahun 1980 menjadi 2,45 juta ton pada tahun 1994. Setelahnya, produksi kembali cenderung menurun hingga sebesar 1,49 juta ton pada tahun 1999. Sejak tahun 2000, produksi kembali cenderung meningkat hingga mencapai juta ton pada tahun 2014.
Jika dilihat kondisinya dalam dua era pemerintahan terakhir, maka pada periode Presiden SBY produksinya sedikit meningkat. Dari 2,05 juta ton pada tahun 2014 menjadi 2,58 juta ton pada tahun 2014. Akan tetapi, impor meningkat pesat, dari 1,20 juta ton menjadi 2,93 juta ton.
Pada era Presiden Jokowi, produksi menurun dari 2,58 juta ton (2014) menjadi 2,35 juta ton (2021). Sedangkan impor meningkat, dari 2,93 juta ton (2014) menjadi 5,48 juta ton (2021). Nilai impor pada tahun 2021 ini mencapai US$2,38 miliar.
Selain karena produksinya yang tidak berhasil ditingkatkan secara konsisten dan signifikan, faktor peningkatan permintaan gula di dalam negeri juga membuat impor cenderung meningkat. Baik dari konsumsi rumah tangga maupun dari permintaan industri terkait. Salah satu faktor yang banyak diakui berpengaruh adalah pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi selama ini.
Ada faktor lain yang membuat penulis memprakirakan akan terjadi peningkatan impor gula pada tahun 2023. Faktor itu terkait dengan adanya Pemilu pada tahun 2024. Pada tahun 2013 dan 2018 atau setahun sebelum Pemilu, terjadi peningkatan impor yang signifikan. Setahun kemudian, pada tahun 2014 dan 2019, impor justeru menurun. [rif]