Scroll untuk baca artikel
Blog

Indonesia Meluruskan Sejarah, Inggris Merevisi Sastra

Redaksi
×

Indonesia Meluruskan Sejarah, Inggris Merevisi Sastra

Sebarkan artikel ini

SEKILAS gerakan sistematis yang dilakukan PDI Perjuangan yang terus berupaya untuk meluruskan sejarah (dalam istilah akademis tidak ada) terutama peran dan sosok Sukarno sebagai salah satu pendiri bangsa tidak ada hubungannya dengan upaya di Inggris untuk merevisi karya-karya penulis cerita anak paling laris, Roald Dahl.

Namun bila dicermati, kedua kasus atau peristiwa di dua negara berbeda dan terpaut jauh itu mirip lantaran ada kelompok atau komunitas baik lokal atau global yang merasa dirugikan.

Untuk kasus PDI Perjuangan dalam sosok Sukarno, jelas ada kepentingan ideologi, keluarga dan partai. Dan, untuk kasus karya-karya Roald Dahl sangat gamblang di antaranya ada kepentingan Yahudi, feminis dan kelompok anti-rasisme. Intinya, kelompok ini terusik.

Ada adagium, sejarah ditulis oleh pemenang. PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu merasa ‘terpanggil’ untuk kembali merevisi atau menulis ulang sejarah yang ditulis rezim Orde Baru.

Sementara buku-buku karya Roald Dahl harus ditulis ulang karena semakin kuatnya jaringan global seperti diaspora Yahudi, kelompok feminis dan juga anti-rasisme. Mereka ini memiliki kekuatan yang bisa mendikte pasar.

Kenapa Novel Roald Dahl Harus Direvisi

Seperti ditulis The New York Times, 20 Februari 2023, dalam tulisan yang berjudul “Buku Roald Dahl Ditulis Ulang untuk Menghilangkan Bahasa yang Berpotensi Menyinggung”, mengundang perdebatan tidak hanya dari penulis dan sastrawan tetapi juga mengusik Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak.

Penerbit Puffin Books melakukan revisi atau istilahnya menulis ulang sejumlah cerita anak karya Roald Dahl seperti yang juga sangat populer di Indonesia “Charlie and the Chocolate Factory,” “Matilda” dan “James and the Giant Peach”.

Novel-novel tersebut dituding mengandung unsur anti-Semit, feminisme dan mengandung rasisme, kasar dan ‘tidak sopan’.

Peninjauan karya penulis dimulai pada tahun 2020, sebelum Netflix mengakuisisi Roald Dahl Story Company, yang mengelola hak cipta dan merek dagang penulis.

Selama hidupnya Roald Dahl yang karya-karyanya terjual hingga jutaan eksemplar dikenal sebagai anti Yahudi. Sampai-sampai setelah penulis ini meninggal pada 1990, keluarnya meminta maaf.

Roald Dahl dikenal sangat kukuh dengan pendirian dan sikapnya. Kerap bentrok dengan editor serta penerbitnya agar karyanya tidak diintervensi siapapun. Keluarganya baru meminta maaf setelah Roald Dahl meninggal.

Namun sejumlah penulis dunia seperti Salman Rusdhie termasuk yang tidak setuju dengan penulisan ulang karya-karya Roald Dahl. Seperti dikatakan para penulis lainnya, revisi tersebut adalah bagian dari sensor. Bahkan sangat keras lagi disebutnya sebagai, “penyensoran yang absurd.”

Seperti dikutip dari The Telegraph, penghapusan mencapai ratusan kata, termasuk deskripsi penampilan, ras, jenis kelamin dan karakter, setidaknya dari 10 di antara 19 buku anak-anak karya Roald Dahl.

Suzanne Nossel, kepala eksekutif PEN America, sebuah organisasi yang mendukung kebebasan berekspresi menyatakan kekhawatirannya pengeditan selektif dapat menjadi senjata baru yang berbahaya.

“Mereka yang mungkin mendukung suntingan khusus untuk karya Roald Dahl harus mempertimbangkan bagaimana kekuatan untuk menulis ulang buku dapat disalahgunakan di tangan mereka yang tidak memiliki nilai dan kepekaan yang sama,” kata Nossel dalam akun pribadinya dikutip The New York Times.

Kelompok penentang menyebut, revisi juga dianggap sia-sia dan omong kosong. Jutaan eksemplar karya Roald Dahl sudah tersebar di masyarakat dunia yang mencapai puncaknya pada tahun 70-an.

Orang dewasa memang rese dan terlalu usil. Mereka tidak seperti anak-anak yang selalu riang dan gembira. Orang dewasa mudah tersinggung, banyak protes, sensitif, selalu politis dan terlalu banyak prasangka. Mereka terlalu serius hidupnya.