BARISAN.CO – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam laporan resminya tahun 2020, hanya menyediakan dua matriks untuk menggambarkan tingkat risiko bencana di seluruh wilayah Indonesia: wilayah berisiko tinggi dan berisiko sedang.
Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, tidak ada wilayah yang berisiko rendah apalagi bebas bencana, dan seolah tidak ada tempat di Indonesia yang benar-benar bisa dihuni dengan tenang.
Bahkan Penajam Paser Utara, sebuah kabupaten di Kalimantan Timur calon Ibu Kota baru yang diklaim aman itu, justru termasuk wilayah yang punya kelas risiko “tinggi” terhadap ancaman bencana alam.
Bukan berlebihan kalau muncul harapan negara memberi perhatian pada masalah tersebut. Penting untuk melahirkan kepercayaan mendasar bahwa manusia Indonesia, walaupun dikepung formasi geografis yang terus bergejolak, tetap dapat menikmati hari-harinya lewat penyesuaian sedemikian rupa dengan alam ia hidup.
Maka yang harus dan harus selalu aktual adalah persiapan. Persiapan adalah setengah jalan menuju tujuan yang dikehendaki. Dalam hal ini, patut disimak bagaimana pemerintah sebagai penanggung jawab politik kebencanaan merencanakan program-programnya.
Namun di sisi lain, ada fakta yang tidak pernah tumpul bahwa pemerintah kita kurang mementingkan persiapan penanggulangan bencana terutama dari sisi anggaran. Doni Monardo, mantan Kepala BNPB, pernah secara terang-terangan mengatakan itu saat dia menjabat.
“Kejadian bencana menunjukkan tren meningkat secara signifikan, tetapi anggaran rutin BNPB setiap tahun cenderung menurun. Rata-rata penurunannya 22,08 persen setiap tahun,” kata Doni Monardo dalam rapat kerja Komisi VIII DPR, Selasa 16 Maret 2021 silam.
BNPB adalah aktor krusial di soal bencana dan ucapan Doni adalah sinyalemen berbahaya. Sebab, ketidakcukupan pendanaan besar kemungkinannya memengaruhi upaya mitigasi kemudian melemahkan koordinasi antar-instansi di mana BNPB adalah leading sector. Persoalan anggaran bisa merobohkan upaya penanganan bencana bak tiupan angin terhadap rumah kartu.
Politik Anggaran
Mengingat cukup dekatnya ancaman bencana terhadap kehidupan rakyat Indonesia, beberapa lembaga asesmen menyarankan semestinya pemerintah dapat mengalokasikan anggaran khusus penanggulangan lebih kurang 2 persen dari total APBN.
Ambil contoh dana cadangan penanggulangan bencana alam tahun 2019, maka seharusnya dianggarkan sebesar Rp49,22 triliun (2% APBN).
Namun sayangnya kebutuhan semacam ini tidak pernah dilegitimasi dalam politik anggaran. Yang terjadi justru dana penanggulangan 2019 hanya diberikan sebesar Rp8,78 triliun (0,35% APBN).
Dalam pada itu, belum lama ini DPR mengusulkan agar kewajiban alokasi penanganan bencana sebesar 2 persen dari APBN/APBD masuk dalam RUU Penanggulangan Bencana yang sedang digodok legislatif. Harapannya ialah dana tersebut dapat menjadi mandatory spending (belanja negara yang diatur UU) sebagaimana kewajiban yang berlaku pada fungsi pendidikan (20 persen), fungsi kesehatan (5 persen), Transfer ke Daerah (26 persen), Dana Desa (10 persen), Belanja Subsidi, dan Belanja Pegawai.
Bagaimana kelanjutannya? Usulan dicoret dari daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Penanggulangan Bencana. Anggaran bencana 2 persen dinilai mempersempit ruang fiskal pemerintah.
Baiklah. Menjadi benar jika dikatakan di awal esai ini bahwa kecenderungan pemerintah yang serba minimalis dalam memenuhi anggaran bencana adalah fakta yang tidak pernah tumpul. Barangkali kita juga bisa menduga bahwa pemerintah tidak belajar dari pengalaman masa silam.
Ada pelajaran penting kalau kita mau menilik ke belakang. Tahun 2004, ketika anggaran bencana dalam APBN hanya dialokasikan sebesar Rp3,3 triliun, terjadi gelombang tsunami di Aceh pada akhir tahun dan musibah itu membawa kerugian mencapai Rp41,4 triliun.
Meski kemudian banyak negara sahabat dan multidonor yang membantu proses evakuasi sampai rehabilitasi, rupanya Indonesia masih harus berutang kepada Bank Dunia sebesar lebih dari US$275 juta.

Jika kita memperhatikan betul persoalan krusial pra-bencana (mencakup mitigasi, kesiapan anggaran, pendidikan kebencanaan, dll), barangkali kita tidak butuh pinjaman lunak tanpa bunga dengan masa pengembalian 30 tahun kepada Bank Dunia itu.
Upaya meminimalisir dampak bencana alam belum mendapat perhatian para elite, utamanya penyusun anggaran. Hal itu berakibat banyaknya jumlah korban jiwa dan kerugian harta benda pada setiap peristiwa bencana alam. Siklus berdarah ini perlu disudahi. [dmr]
Diskusi tentang post ini