Dalam pada itu, belum lama ini DPR mengusulkan agar kewajiban alokasi penanganan bencana sebesar 2 persen dari APBN/APBD masuk dalam RUU Penanggulangan Bencana yang sedang digodok legislatif. Harapannya ialah dana tersebut dapat menjadi mandatory spending (belanja negara yang diatur UU) sebagaimana kewajiban yang berlaku pada fungsi pendidikan (20 persen), fungsi kesehatan (5 persen), Transfer ke Daerah (26 persen), Dana Desa (10 persen), Belanja Subsidi, dan Belanja Pegawai.
Bagaimana kelanjutannya? Usulan dicoret dari daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Penanggulangan Bencana. Anggaran bencana 2 persen dinilai mempersempit ruang fiskal pemerintah.
Baiklah. Menjadi benar jika dikatakan di awal esai ini bahwa kecenderungan pemerintah yang serba minimalis dalam memenuhi anggaran bencana adalah fakta yang tidak pernah tumpul. Barangkali kita juga bisa menduga bahwa pemerintah tidak belajar dari pengalaman masa silam.
Ada pelajaran penting kalau kita mau menilik ke belakang. Tahun 2004, ketika anggaran bencana dalam APBN hanya dialokasikan sebesar Rp3,3 triliun, terjadi gelombang tsunami di Aceh pada akhir tahun dan musibah itu membawa kerugian mencapai Rp41,4 triliun.
Meski kemudian banyak negara sahabat dan multidonor yang membantu proses evakuasi sampai rehabilitasi, rupanya Indonesia masih harus berutang kepada Bank Dunia sebesar lebih dari US$275 juta.
Jika kita memperhatikan betul persoalan krusial pra-bencana (mencakup mitigasi, kesiapan anggaran, pendidikan kebencanaan, dll), barangkali kita tidak butuh pinjaman lunak tanpa bunga dengan masa pengembalian 30 tahun kepada Bank Dunia itu.
Upaya meminimalisir dampak bencana alam belum mendapat perhatian para elite, utamanya penyusun anggaran. Hal itu berakibat banyaknya jumlah korban jiwa dan kerugian harta benda pada setiap peristiwa bencana alam. Siklus berdarah ini perlu disudahi. [dmr]